Mastel: Waspadai Perang Data antara Korporasi versus Negara

Ketua Umum Mastel, Kristiono saat acara Dialog Mastel Menuju 2021 secara daring, Kamis (10/12/2020).

Jakarta, Ditjen Aptika – Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kristiono mengingatkan konflik yang mungkin terjadi di masa depan. Setelah perang dingin perebutan minyak, sekarang dunia masuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

“Setelah ini jangan-jangan akan terjadi perang data (data war), yang menjadi obyek adalah data mining. Pelakunya bukan negara dengan negara, tapi bisa saja korporasi melawan negara,” ujarnya saat acara Dialog Mastel Menuju 2021 secara daring, Kamis (10/12/2020).

Dalam perebutan penambangan data ini, lanjut Kristiono, negara merasa data menjadi miliknya. Namun negara tidak bisa mengendalikan data, apalagi mendapat pemasukan atau monetizing dari data-data tersebut.

“Sedangkan korporasi tidak memiliki data, hanya mengumpulkan saja, tapi memperoleh manfaat yang luar biasa besarnya. Sementara negara sibuk membuat regulasi tentang privasi data yang adopsinya akan sulit terhadap korporasi,” jelas Kristiono.

Lihat juga: Hikmahanto: Waspadai Perebutan Data Elektronik di Ruang Siber

Pengaruh aplikasi atau platform dari korporasi besar tidak hanya di sektor ekonomi. Melainkan sudah merambah ke seluruh sektor, termasuk sosial dan politik. “Jika korporasi global sudah merasa sangat kuat, potensi konflik menjadi terbuka,” katanya mengingatkan.

Dalam kesempatan itu, Mastel memperkenalkan buku putih ‘ICT Outlook Indonesia 2021’ dari hasil focus group discussion. Buku tersebut berisi sebelas kesimpulan terkait industri TIK, dan dapat diunduh secara gratis melalui situs Mastel.id.

Mastel pun berharap terbentuk sinergi dan harmoni antara pemerintah pusat dan dunia usaha, agar terbangun ekosistem industri dan tata kelola pemanfaatan TIK. Selain untuk program transformasi digital, juga pemulihan ekonomi nasional yang lebih pesat.

Pembangunan Infrastruktur TIK dan Talenta Digital

Sementara itu Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI), Ismail pengingatkan pembangunan infrastruktur TIK oleh BAKTI hanya pelengkap. Peran yang jauh lebih besar dilakukan oleh pelaku industri itu sendiri. Namun ada percepatan-percepatan, terutama akibat adanya pandemi Covid-19.

“Negara mengambil kebijakan menambah dana dari APBN, selain dana USO (Universal Service Obligation) dari operator. Kita ingin melompat, seperti pesan presiden, untuk segera tuntaskan infrastruktur. Agar konektivitas digital merata di seluruh tanah air,” tegasnya.

Ia berharap pembahasan pengembangan TIK tidak hanya dari sisi pemerintah, tapi juga dari sisi pelaku industri dibahas secara tuntas. Misalnya bagi operator telekomunikasi, apa peran dan fungsi yang perlu dijalankan.

“Jangan cuma duduk di pojok seperti ular sawah, menunggu mangsa atau makan enaknya saja. Ketika fungsi pemerintah sudah dijalankan, seperti creating demand, kebijakan, dan orkestrasi, tapi investor tidak mau keluar dananya,” cetusnya.

Ismail juga mengamini Mastel terkait pengembangan ekosistem aplikasi dan konten, di tengah maraknya OTT (over the top) asing. Masa depan Indonesia seharusnya memenuhi kebutuhan di sisi aplikasi dan konten, termasuk menyiapkan talenta digital.

“Semua ekosistem harus dibahas peran dan fungsinya. Tidak mungkin hanya satu pihak yang kerja keras, tapi stakeholder lain tidak bergerak. Setelah hadir UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, sudah saatnya mengubah model bisnis atau cara pengembangan industri TIK,” pesan Ismail.

Dirjen SDPPI, Ismail (tengah atas) dalam Dialog Mastel Menuju 2021 (10/12).

Sedangkan Menkominfo Johnny G. Plate dalam sambutannya menyampaikan upaya pemerintah mewujudkan visi besar transformasi digital dengan cepat. Khususnya di tengah momentum peningkatan aktivitas digital saat pandemi.

“Pemerintah menganggarkan Rp 26 trilyun lebih untuk sektor TIK. Pertama kalinya pembangunan infrastruktur TIK, khususnya di wilayah 3T, menggunakan bauran dana APBN, PNBP, dan USO,” ungkapnya.

Lihat juga: Dirjen Aptika: Anggaran Meningkat Tajam, Bekerja Harus Cerdas dan Kreatif

Mengutip hasil survei APJII di tahun 2020, ada 196 juta pengguna internet dengan penetrasi 73% penduduk. Pengguna yang besar ini menjadi pasar potensial untuk mendorong sektor e-commerce dan ekonomi internet secara lebih luas.

“Indonesia membutuhkan sekitar 600 ribu talenta digital per tahun. Hal itu menjadi bagian dari empat pilar transformasi digital, yaitu infrastruktur, teknologi, talenta digital, dan regulasi,” tutup Menteri Johnny. (mhk)

Print Friendly, PDF & Email