Swing Voters dalam Dinamika Demokrasi Indonesia di Era Digital

Dirjen Aptika Semuel A Pangerapan (kedua dari kiri), dan Tenaga Ahli Bidang Literasi Kementerian Kominfoi Donny BU (tengah) pada acara Rumah Demokrasi TVRI (22/3)

Jakarta, Ditjen Aptika – Swing voters adalah istilah untuk para pemilih rasional yang dapat berubah pilihan sesuai dengan ide atau gagasan tertentu. Dinamika demokrasi Indonesia di era digital ibarat dua sisi mata uang bagi swing voters, bisa berdampak positif maupun negatif.

“Mayoritas dari swing voters ialah generasi milenial yang banyak mengakses internet, untuk itu generasi milenial harus pintar dan bijak dalam menanggapi suatu informasi yang beredar di internet. Era Digital dapat mempermudah pencarian informasi untuk referensi para swing voters, namun terlalu bisingnya dunia maya oleh konten negatif dapat membuat para swing voters jengah dan pada akhirnya golput,” ucap Dirjen Aptika Semuel Abrijani Pangerapan, pada program acara Rumah Demokrasi TVRI, di Jakarta (22/03/2019).

Berdasarkan data yang dimiliki Perkumpulan Swing Voters (PSV), angka swing voters mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dimulai dari 7,3 % pada Pemilu 1999, 15,9 % pada Pemilu 2004, 28,3 % pada Pemilu 2009, dan 29,1 % pada Pemilu 2014.

Jumlah swing voters yang besar itu akan sangat disayangkan jika tidak menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi dikarenakan konten negatif di internet. Oleh karena itu Dirjen yang akrab dipanggil Semmy tersebut menjelaskan tiga cara jitu melawan konten-konten negatif di internet, yaitu:

  1. Jangan menyebar ulang informasi yang tidak diyakini kebenarannya, apabila kita mendapatkan suatu informasi di dunia maya kita harus cek dahulu faktanya, apabila dirasa berita tersebut tidak benar maka jangan kita teruskan ke orang lain, cukup berhenti di kita saja;
  2. Buat konten positif untuk melawan konten negatif, cara paling efektif dalam melawan konten negatif yaitu kita balas dengan menyebar konten positif;
  3. Harus aktif jangan pasif, kita diharapkan aktif mencari suatu informasi yang kita butuhkan daripada kita hanya menerima, dengan begitu kita tidak bisa dipermainkan.
Dirjen Aptika mengatakan “jika KPU akan mengawal masa tenang Pemilu di dunia nyata, Ditjen Aptika akan mengawal masa tenang Pemilu di dunia maya,” pada program acara Rumah Demokrasi yang disiarkan secara langsung di TVRI (22/3)

Tenaga Ahli Bidang Literasi Kementerian Kominfo Donny BU menjelaskan, algoritma yang ada di internet membuat netizen diarahkan untuk membuka hal-hal yang serupa. Akibatnya netizen hanya terpapar informasi pada satu sisi saja dan mengurangi obyektivitas.

Oleh karena itu yang dilakukan Kominfo tidak hanya sekedar campaign di internet, tapi juga mengadakan acara-acara sosialisasi tatap muka di berbagai daerah di Indonesia dalam bentuk Roadshow Literasi Digital, Pandu Digital, Semai Damai, Kreator Nongkrong, dan lainnya.

Diana salah seorang peserta yang hadir pada cara tersebut juga membagikan pengalamannya sebagai swing voters, dimana dirinya mengikuti perkembangan akun media sosial dua calon presiden dan wakil presiden bukan hanya salah satunya saja. “Kalau Follow dua-duanya saya jadi lebih dapat menilai secara objektif,” ucapnya.

Pada acara tersebut disosialisasikan pula informasi penting mengenai Pemilu bulan April mendatang. Misalnya akan ada empat kertas suara saat pencoblosan yang dibedakan berdasarkan warna di kertas. Warna kuning untuk pemilihan DPR RI, warna abu-abu untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (disertai foto), warna hijau untuk pemilihan DPRD, dan warna cokelat untuk pemilihan DPD (disertai foto).

Untuk jenis kotak suara pun akan ada perbedaan dimana pada Pemilu kali ini kotak suara akan berbentuk transparan. Terakhir untuk penyandang disabilitas nanti di masing-masing TPS akan dibantu dan didampingi oleh panitia. (lry)

Print Friendly, PDF & Email