Jakarta, Ditjen Aptika – Pemerintah berikan peluang perkembangan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia. Sekretaris Jenderal Kemkominfo menyatakan perkembangan tersebut harus diiringi dengan pengaturan AI dalam bentuk regulasi yang disusun dengan memperhatikan nilai-nilai etika di Indonesia.
“Pemerintah berkomitmen mengupayakan pemanfaatan teknologi, literasi digital dan juga pengembangkan ekonomi digital. Salah satunya, perkembangan AI. Nantinya penyusunan regulasi AI di Indonesia sendiri harus berimbang sesuai dengan nilai atau konteks yang ada di Indonesia agar lebih inklusif,” kata Sekretaris Jenderal Kemkominfo, Mira Tayyiba pada Forum Ekonomi Digital Kominfo VI di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Menurutnya, saat ini pemanfaatan AI yang semakin beragam dapat meningkatkan resiko penyalahgunaannya. Misalnya dapat digunakan untuk menggiring dan menyulut opini publik, serta mempengaruhi sektor ekonomi.
Pada November tahun 2021, UNESCO mengeluarkan Recommendation on The Ethics of Artificial Intelligence yang diadopsi oleh 193 negara anggota sebagai kerangka standar etika dalam AI.
“Jadi dalam pembuatan regulasi, konteks menjadi sangat penting. Meskipun kita bisa benchmark dari negara lain, tapi tidak bisa langsung copy paste. Harus diambil pembelajarannya dan diterapkan sesuai nilai/konteks kita,” terang Mira.
Mira menambahkan, saat ini terdapat dua sisi yang berkembang di masyarakat, yaitu yang antusias dengan kehadiran AI dan yang tidak antusias. Namun baginya, memang perlu disiapkan agar seluruh lapisan masyarakat dan berbagai pihak siap menghadapi perkembangan AI yang cepat.
“Memang kita kurang gesit dalam mengambil tindakan, karena kita merupakan negara pengguna bukan negara produsen. Kami mengharapkan dengan bantuan dukungan semua pihak kita dapat menindaklanjuti hal ini. Sehingga tidak hanya menyalahkan teknologi saja,” tambahnya.
Ia juga berharap, tidak hanya pemerintah yang bekerja dalam menghadapi perkembangan AI, tapi juga sektor usaha yang telah memanfaatkan AI agar dapat memperhatikan keamanan pengguna tanpa membatasi inovasi, dan juga masyarakat agar terus meningkatkan literasi digital dan keterampilannya dalam pemanfaatan AI.
Sementara itu, Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mohammad Rudy Salahuddin juga sependapat dengan Sekjen Kemkominfo bahwa Indonesia masih kurang gesit dan di dominasi oleh industri tradisional.
“Industri high tech dan digital masih sangat terbatas, sejalan dengan proses otomatisasi di sektor publik dan swasta yang masih sangat relatif lambat. Faktor penyebabnya, diantaranya kurangnya produk yang kompetitif, lambatnya adopsi teknologi digital dan rendahnya daya saing di Indonesia dan di pasar global,” jelasnya.
Lihat juga: Kurangi Risiko, Pemerintah Kaji Kebutuhan Pengaturan AI
Menurut Rudy, Indonesia membutuhkan AI guna mereformasi nilai tambah ekonomi nasional melalui peningkatan produktivitas dan inovasi di berbagai sektor-sektor industri.
“Perkembangan AI di Indonesia sangat berkorelasi dengan pengguna internet dimana pada tahun 2023 tercatat ada 213 juta atau lebih dari 77% populasi Indonesia sudah menjadi pengguna internet dan juga pertumbuhan startup yang memanfaatkan teknologi ini dalam menunjang kegiatan bisnis,” terang Rudy.
Di sisi lain, terdapat resiko negatif sekitar 17% pekerjaan di Indonesia dapat diotomatisasi oleh AI dan beberapa penggunaan AI dapat merugikan masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. “Contohnya, senjata otonom, kendaraan tanpa pengemudi, penilaian kredit, dan lainnya,” ucapnya.
Oleh karena itu, baginya perkembangan AI membawa tantangan tersendiri bagi Indonesia kedepannya, diantaranya ada dari aspek regulasi, terutama dari etika dan pemakaian AI yang lebih bertanggung jawab.
“Saat ini, Indonesia tidak memiliki regulasi khusus untuk AI, kita hanya memiliki satu kebijakan yaitu Strategi Nasional AI dari BPPT. Di sisi lain, pada tingkat ASEAN, terdapat AI yang menjadi salah satu unsur bahasan dalam provision di dalam ASEAN Digital Economic Framework Agreement (DEFA) khususnya pada Cooperation on Emerging Topics,” kata Rudy.
Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah memiliki tugas yang semakin kompleks. Pemerintah perlu mengikuti perkembangan teknologi dengan mengatasi masalah regulasi lintas batas dan memastikan bahwa manfaat dari AI bersifat inklusif.
Rudy juga berpendapat FEDK VI menjadi tempat yang berharga untuk bertukar gagasan tentang bagaimana menjalankan peran dalam ekonomi digital yang semakin dipengaruhi oleh AI.
“Kami berharap bahwa kita dapat mengidentifikasi solusi-solusi inovatif untuk mengatasi tantangan yang kita hadapi. Mari bersama-sama menjelajahi dunia yang penuh potensi dari AI dalam ekonomi digital sambil memahami posisi, batasan dan tantangan peran kita,” pungkasnya.
Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh Ketua Asosiasi idEA, Ketua Umum KORIKA, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aplikasi Informatika, Sekretaris Ditjen Aplikasi Informatika, dan perwakilan pelaku ekonomi digital seperti GOTO, Bukalapak, Google Indonesia, AWS, dan TikTok. (pag)