Ahli Hukum dan Akademisi Nilai Revisi UU ITE Persempit Ruang Multitafsir

Diskusi Publik UU ITE bertajuk ‘Memperkuat Parameter Perlindungan HAM dalam Amandemen Kedua UU ITE’, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/09/2022).

Jakarta, Ditjen Aptika – Para ahli hukum dan akademisi sependapat pasal-pasal karet dan multitafsir di dalam implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu direvisi, khususnya Pasal 27 Ayat (3) mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) mengenai penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan, kebencian dan mengandung unsur SARA.

Perubahan yang dimaksud di sini adalah penambahan kalimat dan memperjelas maksud dari istilah-istilah yang ada di dalam undang-undang tersebut. Hal itu menjadi topik dalam Diskusi Publik UU ITE bertema “Memperkuat Parameter Perlindungan HAM dalam Amandemen Kedua UU ITE” yang dilaksanakan di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/9/2022).

Para pembicara menilai rencana revisi UU ITE akan lebih baik dibandingkan UU ITE saat ini, ditambah lagi adanya penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menkominfo Johnny G. Plate, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE.

“Revisi UU ITE diharapkan tidak terlalu banyak tapi minimal agenda lama mengenai HAM, penghinaan tetap dimasukkan ke dalam revisi ini,” ujar Guru Besar Universitas Airlangga, Henri Subiakto yang juga mantan Staf Ahli Bidang Hukum Kemkominfo.

Disebutkan Henri saat ini terdapat 204,7 juta pengguna internet di Indonesia yang saling terhubung secara sosial, budaya, dan politik. Berbeda dengan luring, perbincangan secara daring di ruang digital yang borderless, terekam, dan dapat disebarkan secara luas serta diulang-ulang dapat berujung pada sensitivitas.

Menurut Henri, UU ITE dalam implementasinya telah menelan banyak korban khususnya yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik. Mengutip situs Semua Bisa Kena yang dikelola oleh SAFENet hingga PAKU ITE, jumlah kasus ITE cenderung meningkat setiap tahun.

Lihat juga: Salah Tafsir UU ITE Dapat Turunkan Indeks Demokrasi Indonesia

Pada tahun 2016, ada 16 kasus ITE. Di tahun 2017, kasus ITE meningkat dengan total 48. Kasus ITE masih meningkat di tahun 2018 dengan 96 kasus. Di tahun 2019, mencapai 170 kasus. Di tahun 2020, jumlah kasus ITE mencapai angka 217. Sementara baru di kuartal I tahun 2021 saja, kasus ITE sudah mencapai 108 kasus.

Pemerintah pun mengusulkan revisi UU ITE secara terbatas terhadap Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2). Revisi terbatas ini dilakukan untuk menghilangkan multitafsir dan pasal karet dalam implementasi UU ITE.

UU ITE

  • Pasal 27 Ayat (3) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
  • Pasal 28 Ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Revisi UU ITE

  • Pasal 27 Ayat (3) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.
  • Pasal 28 Ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA).”

Henri menyebut Pasal 27 Ayat (3) yang kerap dianggap masyarakat melanggar kebebasan berekspresi sebenarnya sudah mengakomodir HAM. Oleh karena itu Pasal 27 Ayat (3) sudah sepuluh kali di-judicial review tapi selalu gagal. Dijelaskan, kebebasan berekspresi merupakan bagian dari Human Rights bahkan bagian dari Constitutional Rights, hak yang ada di konstitusi.

“Kebebasan berekspresi tidak absolut. Artinya bisa diatur supaya tidak melanggar hak orang lain,” Henri menegaskan.

Delik Formil UU ITE

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Pujiyono mengungkapkan formulasi tindak pidana di dalam UU ITE lebih banyak delik formil, dimana delik formil memiliki pengertian delik yang perumusannya difokuskan pada perbuatan yang dilarang dengan mengesampingkan akibat kerugian yang ditimbulkan.

Dengan perumusan tersebut terjadi delik pidana, dimana banyak pelaku pidana yang berhubungan dengan pelanggaran tindak pidana UU ITE. Contohnya, pasal 28 yang dianggap sebagai pasal karet.

Pembuat revisi draf UU ITE membuat ‘filter’ yang ketat bahwa sebuah tindak pidana tidak hanya perbuatan melawan hukum tapi juga menimbulkan akibat. Itu dicontohkan di dalam pasal 28 yang menyebutkan harus ada kerugian yang bersifat materiil. Perubahan ini akan membuat jaksa tidak hanya berhenti pada perbuatan melawan hukum tapi dari perbuatan itu menimbulkan akibat (kerugian).

“Harapannya dengan adanya perubahan kedua tidak begitu mudah dalam konteks hukum melakukan pemidanaan. Selama ini UU ITE sering dianggap multitafsir karena ditemukan banyak delik yang duplikasi merujuk ke KUHP,” katanya.

Draf revisi UU ITE dinilai Pujiyono sudah ada kemajuan untuk tidak mudah mempidanakan seseorang dalam konteks proses hukum. Kemudian perbuatan delik melawan hukum diperjelas dan nantikan akan dibuktikan oleh jaksa, dimana hal itu terlihat dalam ketentuan di dalam Pasal 28A.

“Pembuat draf UU ingin bahwa tidak sekedar ‘menyebarkan informasi’ tapi ada beberapa ketentuan. Ada ‘filter’ agar sebuah perbuatan tidak mudah ditetapkan sebagai tindak pidana. Ada kriteria yang konkrit yang harus dipenuhi. Jadi tidak multitafsir lagi karena unsurnya diperjelas. Ini sebuah kemajuan,” terang Pujiyono.

Dalam kesempatan itu, Pujiyono menilai draf perubahan kedua UU ITE sifatnya masih punitif sebab masih mengedepankan pendekatan secara penal dalam penyelesaian tindak pidana. Fenomena penyelesaian kasus-kasus pidana sudah mengedepankan pola-pola penyelesaian out of court settlement agar tidak semua (perbuatan) diproses dalam peradilan pidana yang bersifat punitif.

“Pendekatan non-penal perlu dilakukan selain secara punitif menindak karena ada tanggung jawab untuk mengedukasi. Walaupun terkadang pendekatan non-penal tidak jadi prioritas, tapi jika hanya menindak tidak ada habisnya ketika edukasi tidak dilakukan,” imbuh Pujiyono.

Lihat juga: Tindak Lanjuti Wacana Revisi, Pemerintah Bentuk Tim Kajian UU ITE

Senada dengan Pujiyono, Henri pun mendorong permasalahan hukum terkait dengan diselesaikan dengan restorative justice. Menurutnya, di negara-negara lain kasus serupa juga diselesaikan di luar pengadilan.

“Makanya tadi sudah benar (penyelesaian) masalah hukum yang terkait dengan penghinaan atau pencemaran nama baik di dalam SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE diselesaikan dengan restorative justice,” terangnya.

Di negara-negara Barat, khususnya Eropa dan Amerika, masalah penghinaan dan ejekan masuk ke ranah perdata, tidak menjadi urusan negara. “Namun, untuk penyebaran informasi yang memunculkan permusuhan dan kebencian (berbau) SARA bukan restorative justice,” tegas Henri.

Sedangkan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Umi Rozah menambahkan UU ITE kurang memenuhi asas legalitas sehingga ada banyak pasal multitafsir. Penafsiran aturan pun diserahkan kepada aparat penegak hukum.

“Seringkali terjadi seharusnya orang yang tidak masuk (diproses hukum) jadi masuk atau sebaliknya. Peran aparat penegak hukum dalam menafsirkan UU ITE sangat besar, padahal mereka juga perlu mendapatkan edukasi,” katanya.

Maka itu, UU ITE perlu direvisi agar tidak terjadi kesalahan dalam menerapkan asas legalitas seperti dalam penafsiran UU ITE. “Dalam revisi UU ITE sudah lumayan ada ketentuan yang mempersempit pasal-pasal multitafsir,” ungkap Umi. (lg)

Print Friendly, PDF & Email