Silih: Rebranding Lembaga Berbasis Esensi, Bukan Sensasi

Pembawa acara (MC) memperkenalkan para narasumber dan susunan acara saat Workshop Manajemen dan Strategi Komunikasi untuk Rebranding Lembaga di Bali, Kamis (21/10/2021).

Bali, Ditjen Aptika – Pembaruan citra lembaga atau rebranding diperlukan jika terdapat perubahan situasi internal dan eksternal. Bagi lembaga pemerintah, rebranding diperlukan salah satunya akibat perubahan target layanan publik.

Rebranding basisnya esensi, bukan sensasi. Bila hanya untuk keperluan pemerintah, bukan keperluan publik, esensinya tidak dapat,” kata Founder dan Managing Director AsiaPR, Silih Agung Wisesa saat acara Workshop Manajemen dan Strategi Komunikasi untuk Rebranding Lembaga di Bali, Kamis (21/10/2021).

Ia pun mencontohkan upaya pemerintah untuk mengatasi kampanye negatif komoditas sawit dari Uni Eropa. Melalui sejumlah pertemuan informal akhirnya diketahui, bahwa target mereka sebenarnya ingin menekan harga sawit menjadi lebih murah.

“Pemerintah lalu melakukan rebranding dengan menyebut sawit hanya untuk kepentingan dalam negeri. Setelah itu, kampanye negatif pun berkurang bahkan berhenti,” ungkap Silih.

Menurut dia pula, memperbarui citra bukan sekedar berganti logo atau maskot. Perlu dipertanyakan, manfaat apa yang didapat masyarakat dari pembaruan itu? Setelah itu harus ada upaya lanjutan agar esensinya menjadi berubah. Sebagai contoh, penggunaan maskot siaran TV digital atau Modi.

“Apakah masyarakat sudah merasakan manfaat TV digital? Bagaimana peran Kominfo terhadap TV digital? Jangan-jangan Modi dibikin tapi tidak dihidupkan personifikasinya,” tutur Silih.

Silih yang juga penulis buku “Political Branding and Public Relations” itu menegaskan proses panjang dari pembangunan citra. Perlu diadakan riset untuk mengetahu persepsi dan kebutuhan masyarakat, tidak bisa mengandalkan common-sense dari para pimpinan.

Selain itu, di era banyaknya saluran komunikasi seperti sekarang, penyebaran informasi cross multi-channel harus dilakukan. Tidak cukup melalui saluran publik seperti TV, radio, media cetak, dan media sosial, tapi juga media un-common seperti pasar dan komunitas.

“Misalnya Kementerian Keuangan sudah menyiapkan cross multi-channel. Ketika menerbitkan siaran pers, komunitas-komunitas di bawah sudah menerima terlebih dulu. Jadi saat mengeluarkan satu kebijakan, orkestrasi juga ikut berjalan,” ungkap Silih.

Lihat juga: Tingkatkan Komunikasi Publik, Setditjen Aptika Dorong Publikasi Lewat Website

Sementara itu Ferry Gunawan dari Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan menambahkan strategi komunikasi melalui tagar #KemenkeuTepercaya. Tujuannya agar masyarakat percaya kepada Kemenkeu sebagai institusi pengelola keuangan dan kekayaan negara.

“Setiap lapis manajemen mempunyai pemahaman yang sama, bahwa komunikasi menjadi bagian dari kebijakan. Setiap pegawai Kemenkeu yang berjumlah 82 ribu adalah agen komunikasi,” katanya.

Menurut Ferry, konsistensi menjadi kunci dalam membangun citra lembaga. Masyarakat akan makin mengenal dan mengingat sebuah pesan jika dilakukan berulang-ulang. Hal itu berlaku di media luring maupun daring.

“Seperti Menteri Sri Mulyani sering membawakan pesan: jangan pernah lelah mencintai negeri ini. Buatlah kalimat yang menyentuh emosi pembaca, sehingga mereka ikut terlibat dan membangun percakapan,” terangnya.

Selain itu, kerja sama berbagai pihak menjadi penting di era informasi dan saling terhubung ini. Contohnya Kemenkeu pernah melibatkan artis Maudy Ayunda saat menyampaikan branding #UangKita sebagai upaya transparansi APBN.

Collaboration is the new competition. Kolaborasi dapat menciptakan ekosistem yang positif dan semakin meningkatkan branding kedua belah pihak,” pungkas Ferry.

Perwakilan Ditjen Aptika (paling kiri) bersama Tim Rebranding Biro Humas. (Foto: AYH/Humas)

Sedangkan perwakilan dari Ditjen Aplikasi Informatika, Maykada Harjono menyampaikan upaya Aptika untuk mengetahui persepsi publik terkait program literasi digital.

Lihat juga: Survei Nasional jadi Acuan Peta Jalan Literasi Digital

“Ditjen Aptika bekerja sama dengan Katadata telah meluncurkan Survei Nasional Literasi Digital pada November 2020. Hasil survei diharapkan menjadi acuan program literasi digital tidak hanya di Kemkominfo, tapi juga lembaga-lembaga lain, termasuk dalam membuat strategi rebranding,” katanya.

Acara yang diadakan oleh Biro Humas Kementerian Kominfo itu turut dihadiri oleh perwakilan dari Inspektorat Jenderal, Balitbang SDM, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Balai Monitoring Surabaya dan Kupang, serta Dinas Kominfo Kota Denpasar. (mhk)

Print Friendly, PDF & Email