Jakarta, Ditjen Aptika – Jerman dengan serius ingin mengatasi hate speech atau ujaran kebencian di internet dengan memberlakukan undang-undang (UU) terkait ujaran kebencian atau yang dikenal dengan Network Enforcement Act (NetzDG). Hadirnya NetzDG menimbulkan pro dan kontra, ada yang menilai NetzDG merupakan solusi untuk menghalau ujaran kebencian di dunia internet, tapi ada juga yang menganggap bahwa NetzDG ini rentan melanggar kebebasan berbicara dan mengakses informasi karena platform media sosial tersebutlah yang mengambil keputusan.
Bahaya dari Hate Speech yang disebarkan melalui online menurut Prof. Dr. Wolfgang Schulz anggota (MSI-NET) Of The European Council ada tujuh, yaitu Acceleration, Volume, Attribution, Limited Social Control, Observability, Persistence, and Jurisdiction.
“Beberapa kasus yang terjadi di Jerman seperti kasus berita palsu di facebook yang menyerang ketua komite yudisial di Parlemen Jerman hingga berita bohong mengenai kasus foto Perdana Menteri Jerman Angela Merkel dengan teroris menjadi pemicu lahirnya NetzDG di Jerman pada musin panas 2017 dan diterapkan awal tahun 2018,” ujar Wolfgang Schulz pada acara Kuliah Umum Tantangan Tata Kelola Internet di Perpustakaan Nasional Jakarta, Rabu (20/02/2019).
NetzDG sendiri memiliki beberapa konsep pengaturan, seperti definisi yang termasuk pada hate speech dan fake news mereferensi pada hukum pidana yang berlaku. Lalu kewajiban utama para platform media sosial adalah mereka harus memiliki mekanisme pelanggaran konten dimaksud melalui standar komunitas. Selain itu penindakan yang dilakukan harus dalam kurun waktu 24 jam dengan pengecualian pada kasus yang rumit maksimal 7 hari.
Pancat Setyantana, mewakili Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika, menambahkan perkembangan teknologi yang sangat pesat ibarat pisau bermata dua. Jika perkembangan ini dimanfaatkan secara positif akan membawa manfaat besar, tapi jika tidak dimanfaatkan secara positif akan menjadi masalah besar.
“Media sosial menduduki peringkat pertama sumber penyebaran konten negatif di Indonesia, untuk mengantisipasinya perlu filtering konten melalui regulasi,” ungkap Pancat.
Hal paling mencolok dari peraturan NetzDG ini adalah denda sebesar 50 juta euro atau setara 805 miliar rupiah bagi platform media sosial yang melanggar. Hal tersebut dirasa sulit diterapkan di Indonesia karena peraturan perundangan RI tidak mengatur mengenai sistem denda di internet selain pidana kurungan.
Prof. Dr. Wolfgang Schulz memaparkan dalam perjalanannya NetzDG telah menuai sejumlah kritik, seperti:
- Besaran jaringan media sosial yang begitu besar berpotensi mendorong perusahaan swasta melakukan penyensoran berlebihan;
- Kewajiban menghilangkan konten yang dianggap melanggar secara cepat (24 jam) dikhawatirkan dapat terjadi penyensoran yang tidak akuntable sehingga berpotensi memicu masalah pelanggaran kebebasan berpendapat;
- Besarnya denda yang dibebankan kepada penyedia membuat penyedia akan melakukan penyensoran tanpa perhitungan yang tepat guna menghindari denda;
- Filtering konten bervolume besar dan berbasis Artificial Intelligence (AI) berdampak petugas tidak memahami konten tersebut;
- Undang-undang tidak memungkinkan pengawasan yudisial atau proses banding hukum apabila pengguna ingin mengajukan banding terhadap keputusan yang dibuat perusahaan atau badan industri untuk memblokir atau menghapus konten;
- Pemerintah hingga kini belum menetapkan prosedur kriteria yang jelas untuk mengelola badan yang ditunjuk untuk menangani kasus-kasus pelanggaran yang kompleks dan dapat mengubah kriterianya sewaktu-waktu.
“Harus dilakukan peninjauan atau moderasi, ketika negara mengontrol komunikasi standar dari sebuah platform media sosial, maka harus ditetapkan dasar yang sangat kuat, dan harus melalui pengujian bahwa ada penyeimbangan yang menjamin asas demokrasi dihargai dan semua dirancang dengan menghargai HAM serta kebebasan berpendapat,” tutup Wolfgang Schulz. (lry)