Jakarta, Ditjen Aptika – Isu mengenai kebocoran data pribadi mendominasi pemberitaan dalam 24 jam terakhir. Kasus kebocoran data marak terjadi di Indonesia, seperti bocornya data pengguna Tokopedia, BPJS Kesehatan dan yang terbaru data dari KPAI yang dijual secara online.
Rentetan kejadian ini tentu memunculkan pertanyaan kapan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) akan disahkan. Mengenai itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR akan membahas RUU PDP kembali pada bulan November ini.
“RUU PDP apakah pembahasan RUU PDP akan dilanjutkan? jawabannya Iya akan dilanjutkan,” ujar Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi, saat ditemui di Kantor Kominfo, seperti dilansir Sindonews.com, (26/10/2021)
Pada awal November 2021 nanti, kata Dedy, panja atau panitia kerja dari kedua belah pihak yakni pemerintah dan pihak DPR akan melanjutkan pembahasan. “Jadi DIM atau Daftar Inventarisasi Masalah yang belum dibahas akan dilanjutkan oleh kedua panja,” tuturnya. Saat ditanya, apakah RUU PDP bisa disahkan pada tahun ini juga, Dedy menjawab akan diusahakan. “Kita akan usahakan secepatnya,” ucapnya.
Konten Negatif di Internet
Isu mengenai konten negatif di internet juga mewarnai pemberitaan. Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi menjelaskan konten di internet dan media sosial akan dihapus jika melanggar peraturan perundang-undangan yang merujuk pada UU ITE. Menurut Dedy ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan menghapus atau memutuskan akses terhadap sebuah konten. Kriteria yang dimaksud adalah konten melanggar peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat, dan konten memuat informasi yang menyediakan akses pada dokumen yang dilarang.
“Sesuai ketentuan UU ITE dan peraturan pelaksanaannya, permintaan pemutusan akses terhadap sebuah konten pada sebuah Platform Sistem Elektronik dilakukan terhadap konten yang memenuhi kriteria,” kata Dedy kepada CNNIndonesia.com melalui pesan teks, Selasa (26/10/2021).
“Melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Dedy kemudian.
Sebelumnya Indonesia dilaporkan masuk ke dalam laporan transparansi Google tentang penghapusan konten. Dalam laporan tersebut, Indonesia tercatat sebagai negara dengan konten dihapus dan permintaan penghapusan konten paling banyak dibanding negara lain.
Kemudian Dedy menjelaskan permintaan penghapusan konten berasal dari berbagai sumber mulai dari aduan masyarakat, hasil patroli siber, hingga permintaan lembaga.
“Permintaan pemutusan akses terhadap suatu konten dilakukan berdasarkan aduan masyarakat, hasil patroli siber, maupun permintaan Kementerian atau Lembaga,” katanya. Lebih lanjut, jika konten tersebut dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, maka konten tersebut akan diproses untuk dihapus. (lry)