Jakarta, Ditjen Aptika – Menjelang tahun Pemilu, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat penting dijaga, pemeliharaannya mencakup banyak hal mulai dari implementasi peraturan hingga menjaga komunikasi. Program literasi digital sektor pemerintahan diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran netralitas ASN.
“Netralitas ASN menjadi isu yang mendapat banyak sorotan publik khususnya saat menjelang pelaksanaan hingga berakhirnya Pemilu. Pelanggaran netralitas ASN masih saja terus terjadi, oleh karenanya penting untuk terus menanamkan pemahaman dan pengetahuan terkait hal tersebut, salah satunya melalui program ini,” jelas perwakilan Badan Pengawas Pemilu, Puadi, saat sesi pemaparan materi Literasi Digital Sektor Pemerintah bagi Sivitas Kementerian Kominfo, Selasa (04/04/2023).
Puadi menjelaskan setidaknya ada enam hal yang menjadi penyebab maraknya fenomena pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilu. Pertama, mentalitas birokrasi yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi yang mestinya mewujudkan ASN yang loyal pada kepentingan negara.
“Selanjutnya kepentingan politik partisan ASN yang memiliki irisan kekerabatan atau kesukuan dengan calon, melahirkan politik identitas,” lanjutnya.
Penyebab selanjutnya, menurutnya, digunakannya Pemilu sebagai wadah tukar guling untuk mencari promosi jabatan. Kemudian intimidasi dan tekanan orang kuat lokal yang terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam ekosistem yang tidak menguntungkan turut menjadi faktor.
Selain itu, penegakan hukum yang masih birokratis terlalu banyak melibatkan pihak dan belum sepenuhnya memberi efek jera pada para pelaku pelanggaran atas netralitas ASN menjadikan masalah tersbut terus berulang.
“Terakhir, politisasi birokrasi yang dilakukan oleh calon peserta Pemilu juga turut menjadi faktor,” terang Puadi.
Pada kesempatan tersebut Puadi juga turut menjelaskan bentuk-bentuk pelanggaran netralitas ASN yang pernah terjadi, diantaranya memberikan dukungan melalui media sosial, menghadiri acara silaturahmi/sosialisasi suatu partai politik, melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik, mendeklarasikan secara terbuka dukungan atas salah satu calon dan mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu calon.
“Bagi PNS sendiri hal terkait netralitas sudah diatur pada PP 42/2004 dan PP 94/2021. Dimana diantaranya disebutkan larangan bagi PNS untuk ikut serta dalam kampanye baik secara individu maupun mengajak anggota PNS lainnya,” terang Puadi.
Secara normatif, lanjut Puadi, sulit ditemukan landasan yang dapat memberikan pembenaran bagi dimungkinkannya ASN untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis. Artinya, meskipun setiap ASN memiliki hak politik sebagai hak asasinya, tetapi ASN dibatasi ekspresi hak politiknya.
Pada akhir paparannya, Puadi menjelaskan strategi pengawasan netralitas ASN, diantaranya membangun konektivitas dan sinergitas pengawasan netralitas ASN dengan seluruh elemen pemerintahan.
“Kami juga membangun sistem penanganan pelanggaran netralitas ASN yang afirmatif dan terintegrasi yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Serta melakukan sosialisassi terencana dan berkelanjutan dan mendorong tumbuh kembangnya pengawasan partisipatif masyarakat,” tutup Puadi.
Lihat juga: ASN Kominfo Diharapkan Jadi Teladan dalam Transformasi Digital
Sementara itu Komisioner Pokja Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Kode Perilaku ASN, dan Netralitas ASN, Arie Budhiman, menunjukan data pelanggaran netralitas ASN dari data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tahun 2020-2021 yang diperbarui per 30 Maret 2023.
“Dari data dapat terlihat hingga saat ini sudah ada 2.034 ASN yang dilaporkan terindikasi pelanggaran netralitas ASN, sebanyak 1.596 ASN mendapat rekomendasi KASN, serta 1.448 ASN sudah ditindaklanjuti oleh PPK dengan penjatuhan sanksi,” paparnya.
Berdasarkan data tersebut juga terlihat instansi dan jabatan ASN apa yang paling banyak terlibat pelanggaraan netralitas ASN serta kategori pelanggaran terbanyak berasal dari kampanye/sosialisasi media sosial dengan presentase sebesar 34,3%.
“Sebanyak 548 ASN atau 34.3% yang melanggar dan mendapat rekomendasi KASN denga kategori pelanggaran kampanye/sosialisasi di media sosial,” tutur Arie.
Melihat fenomena tersebut, ia kemudian memberikan rekomendasi yakni perlunya pemahaman regulasi, literasi media sosial, etika, dan perilaku digital yang bertanggung jawab terhadap perkembangan era media sosial yang semakin dinamis.
“Program literasi digital sektor pemerintahan ini tentunya sudah sejalan dengan tren dan fenomena yang berlangsung. Semoga pelanggaran netralitas ASN dapat ditekan,” tutup Arie. (lry)