Jakarta, Ditjen Aptika – Pemerintah melalui Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) tengah menyiapkan Strategi Nasional (stranas) Kecerdasan Artifisial (KA). Hal tersebut guna mempercepat penyelenggaraan KA untuk memperkuat daya saing nasional.
“BRIN sedang menyiapkan stranas KA, karena penguasaan KA ini tidak serta merta hanya dilakukan dengan mengembangkan teknologinya saja. Regulasi juga perlu diperhatikan guna memastikan perkembangan KA sesuai dengan strategi dan kepentingan nasional,” terang Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN, Dudi Hidayat dalam Seminar Kebijakan dan Standar Kecerdasan Artifisial (KA) Bebasis Gender di Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada Selasa (28/02/2023).
Menurut Direktur Dudi, pertumbuhan KA akan menjadi jauh lebih pesat di masa mendatang. Problematika dan dilema seperti hilangnya berbagai mata pencaharian karena digantikan oleh KA, hingga kebutuhan data yang lebih besar yang pada akhirnya akan mengancam rentannya keamanan data pribadi juga akan muncul bersamaan dengan peningkatan kecanggihannya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Tata Kelola Aptika, Teguh Arifiyadi mengatakan selama ini hanya kecanggihan dan fungsi dari KA yang dibahas, namun tidak dengan biasnya. Ia berharap stranas KA yang tengah disiapkan bisa meningkatkan awareness terkait hal ini.
“Kita hanya berbicara soal kecanggihan dan fungsi dari KA, tetapi tidak dengan adanya bias pada produk tersebut. Diharapkan stranas KA yang sedang disiapkan BRIN saat ini dapat mengatur kesadaran akan hal ini,” jelas Plt. Direktur Teguh.
Produk-produk KA, lanjut Plt Direktur Teguh, memiliki bias yang cukup signifikan. Ia mencontohkan dalam asisten virtual Apple, Siri memiliki suara perempuan, begitu juga pada Windows, Cortana, dan Google Maps juga memiliki suara perempuan.
“Mengapa bukan suara laki-laki? Ini merupakan contoh bias yang mencolok, di mana suara perempuan dipilih karena terdengar bagus dan disukai orang-orang umum,” tutur Plt. Direktur Teguh.
Ia juga menambahkan contoh bias lainnya, dalam penggunaan mesin penerjemah. Saat menerjemahkan kata “Dia sedang memasak” mesin penerjemah akan mengartikannya menjadi she is cooking. Namun ketika menerjemahkan kata “Dia sedang bekerja” mesin penerjemah akan mengartikannya menjadi he is working.
“Bias-bias dalam teknologi ini mencerminkan bias dan stereotip yang terjadi di tengah masyarakat. Oleh karenanya, perlu diatur ethics-nya juga,” tegasnya.
Sedangkan Direktur Regional International Telecommunication Union ITU untuk Kantor Wilayah Asia dan Pasifik, Atsuko Okuda, mengatakan bahwa KA dapat berkontribusi sebanyak satu trilyun dolar untuk perekonomian ASEAN pada tahun 2030. Dirinya menyebut, pemerintah di Asia Tenggara mulai mengakui betapa pentingnya KA untuk perekonomian mereka.
“Singapura telah meluncurkan Stranas KA mereka di tahun 2019, yang disusul oleh Malaysia dan Indonesia di tahun 2020,” tuturnya.
Seminar yang digelar Kementerian Kominfo (Kemkominfo) bersama ITU ini merupakan salah satu luaran dari riset yang telah diselenggarakan oleh ITU dengan United Nations University (UNU) – Macau pada pertengahan tahun 2022 silam, di mana riset tersebut meneliti tentang kebijakan terhadap KA yang inklusif dan peka terhadap gender.
Seminar ini dihadiri oleh sembilan kementerian/lembaga pemerintahan, akademisi, dan organisasi mengemukakan temuan hasil riset Gender Sensitive AI Policy in Southeast Asia, termasuk bagaimana pesatnya perkembangan KA di Indonesia, dan bias serta stereotip yang muncul di dalamnya. Harapannya, seminar ini dapat meningkatkan kesadaran atas bias gender dan sosial yang ada dalam penerapan teknologi KA dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial. (pwh)