Jakarta, Ditjen Aptika – Pengembangan kota cerdas atau smart city tidak semata-mata terkait belanja teknologi berbiaya besar. Hal itu bisa disiasati dengan konsep terbuka yang melibatkan banyak pihak untuk membantu pendanaan maupun sumber daya manusia.
“Saya khawatir kita terjebak pada euforia e-government yang mendahulukan belanja teknologi. Smart city jangan dijawab dengan belanja teknologi, melainkan melalui konsep atau master plan yang tepat,” kata Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan (LAIP), Bambang Dwi Anggono saat seminar daring bertema Tantangan dan Peluang Pengembangan Smart City Pasca Pandemi, Rabu (9/2/22).
Dalam menyusun master plan itu, lanjut Bambang, pemerintah daerah harus terbuka dengan berbagai komunitas yang ada, misalnya dunia usaha dan akademisi. Mereka memiliki dukungan sumber daya sebagai bagian dari solusi.
“Kalau kita seperti katak dalam tempurung, hanya mengharapkan APBD, hasilnya akan begini-begini saja. Ini tantangan bagi kita semua, terutama para birokrat, jangan terlalu kaku untuk kepentingan inovasi-inovasi,” pesan Direktur LAIP.
Bambang yang akrab dipanggil Ibenk pun menyatakan bahwa masalah smart city di Indonesia bukan pada teknologi melainkan pola pikir. Persoalan teknologi memiliki banyak solusi, termasuk produk-produk yang ditawarkan oleh Hewlett Packard Enterprise (HPE) maupun Intel.
“Tanpa ada perubahan pola pikir atau mindset, solusi teknologi hanya menjadi omong kosong,” tegas Direktur Ibenk lagi.
Lihat juga: Suhono: Kecerdasan Buatan sebagai Solusi Atasi Masalah Kota
Sementara itu Ketua Forum Kepala Diskominfo Kabupaten Kota se-Indonesia (Fork4si), Bambang Pramusinto menyampaikan sejumlah tantangan dalam pengembangan smart city di Indonesia. Salah satunya indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang rata-rata rendah di daerah.
“Dari sekian ratus daerah di Indonesia yang indeks SPBE-nya baik, masih sangat sedikit. Bagaimana menciptakan smart city yang ideal ketika governance-nya belum cerdas,” ungkapnya.
Bambang pun menyarankan peningkatan pengetahuan SPBE bagi aparatur daerah melalui pelatihan dan bimtek. Pelatihan tersebut bisa dilakukan melalui platform e-learning untuk menekan biaya. Hasil dari pelatihan dan ujian nantinya menjadi bukti kompetensi pegawai di bidang smart city dan SPBE.
Selain itu, Bambang menilai kesiapan masyakat menghadapi transformasi digital juga masih rendah. “Program literasi digital yang masif dari Kemkominfo perlu didukung oleh aparatur di daerah agar masyarakat lebih melek TIK,” katanya.
Mengakhiri paparannya, Ketua Fork4si itu menegaskan inti dari smart city adalah solusi, sedangkan inti dari solusi adalah inovasi yang berujung pada peningkatan produktivitas masyarakat.
“Jadi smart city bukan kota dengan banyak aplikasi, melainkan kota dengan banyak solusi, yang pada akhirnya memberikan banyak manfaat bagi masyarakat,” tutupnya.
Lihat juga: Lakukan Assessment, Kominfo Cari 50 Kota/Kab untuk Didampingi Menuju Smart City
Turut hadir dalam seminar Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming yang memberikan keynote speech; Managing Director HPE, Hengkie Kastono; Managing Partner Renaissance, Richard Kumaradjaja; dan moderator dari InfoKomputer.id, Wisnu Nugroho. (mhk)