Jakarta, Ditjen Aptika – Penggunaan data menjadi salah satu bagian penting dari penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada tahun 2018, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 2.700 pusat data (data center) yang ada di seluruh Indonesia. Namun, hanya 3% dari data center tersebut sudah membuat standar internasional dan memiliki potensi terjadinya data leaked (data bocor) sebesar 65%.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Prospera dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), pada Rabu (03/11), Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, Mego Pinandito menyebutkan bahwa dengan banyaknya data center yang tidak memenuhi standar ini, memiliki risiko yang luar biasa, seperti halnya kebocoran data ataupun manipulasi data. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengelolaan terkait infrastruktur data dan database dengan standarisasi yang sudah ditetapkan untuk bisa mewujudkan satu data terpadu dan SPBE.
Meski demikian, masih terdapat tantangan dan kondisi yang terkait database dan infrastruktur data yang saat ini tengah dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Pertama adalah kebijakan sektoral dari pemerintah pusat dan daerah yang sangat kuat. Kebijakan yang menghasilkan aplikasi stand alone ini, menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan dari pusat dan daerah. Kedua adalah terdapat adanya kebijakan masif proteksi data yang tidak single source of truth, dimana data tersebut tidak dapat digunakan oleh sektor lainnya. Selain itu, ada pula keterbatasan aparatur sipil negara (ASN).
“Keterbatasan ASN dalam mengelola pusat data (data center), mengelola security, mengelola sistem jaringan yang handal, mengelola interoperabilitas. Jadi keterbatasan kemampuan ini menyebabkan aplikasi yang begitu banyak pada data center, yang begitu banyak, menjadi sulit untuk diintegrasikan dan konsolidasikan,” ujar Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan (LAIP), Bambang Dwi Anggono, secara virtual pada Rabu (03/11).
Lebih lanjut Bambang menyebutkan bahwa jargon integrasi atau interoperabilitas yang selama ini disampaikan nyatanya tidak efektif. Terlalu banyaknya aplikasi, membuat ribuan akses yang harus dibangun oleh kementerian. Hal tersebut dinilai tidaklah efektif, terlebih dengan SDM yang terbatas/ keterbatasan ASN, serta kebijakan yang terlalu protektif di sektoral yang menyebabkan e-government di Indonesia sulit untuk diintegrasikan.
Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan sistem pemerintah yang bertransformasi secara digital atau SPBE diperlukan adanya perubahan mindset, standarisasi data oleh pemerintah pusat dan daerah. Dimana Kementerian lembaga yang menjadi pengampu harus punya keberanian untuk melakukan standarisasi.
Kemududian, lanjut Bambang, adalah dengan melakukan bentuk konsolidasi database pemerintah dalam ke pusat data nasional sebagai single source of truth. Nantinya akan menutup data center di banyak Kementerian/Lembaga dan pemerintah di daerah, yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Presiden tentang e-government atau SPBE, dari target 2.700 pusat data (data center) hanya menjadi 10 sampai dengan 20 data center nasional dan sudah menjadi standar internasional.
“Targetnya kita menyediakan pusat data nasional sementara, untuk mengakomodir data-data yang terdaftar di Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, jadi kita akan membangun nasional diharapkan beroperasi di awal 2024, tetapi sambil menunggu maka pemerintah menyewa internasional dengan adanya pusat data sementara,” kata Bambang.
Bambang berharap, dengan adanya rencana pemindahan ibu kota negara baru, setelah tahun 2025, seluruh data center yang ada di kementerian dan lembaga, bisa dikonsolidasikan ke pusat data nasional (PDN). Sehingga efisiensi khususnya di pemerintah/lembaga pusat, dapat terlaksana dengan cepat, dan pemerintah/lembaga daerah akan menyusul secara bertahap.
Oleh karena itu, kata Bambang, dengan konsolidasi pusat data dan database nasional diharapkan mampu mewujudkan pelayanan yang terpadu. Tidak perlu lagi pelayanan yang terkotak-kotak sektoral maupun melalui pihak ketiga alias calo, tetapi bersatu menjadi satu layanan bersama. “Aplikasi databasenya juga tersimpan dalam ekosistem data nasional, yang diharapkan data center-nya ada empat, kemudian nantinya akan dibuatkan layanan yang tepat untuk publik dan layanan administrasi pemerintahan secara internal untuk pemerintah,” ucapnya.
Bambang mengatakan bahwa Infrastruktur menjadi salah satu yang sangat vital, dan saat ini Kominfo sedang menyusun roadmap, masterplan, dan berbagai desain, dalam rangka untuk penyedian pusat data nasional bagi pemerintah di seluruh indonesia. Meski begitu dalam diperlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan strategis agar bisa mengawal kebijakan presiden mengenai SPBE dengan satu data terpadu ini. (Dit. LAIP)