Jakarta, Ditjen Aptika – Infrastruktur pendukung Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) berupa Pusat Data Nasional (PDN) akan menyatukan pusat-pusat data pemerintah pusat dan daerah. Selain integrasi sistem, kemampuan ASN juga perlu ditingkatkan agar memahami ruang digital.
“Saat ini ada 2700 pusat data yang sebagian besar berupa ruang server. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mencari data di banyak tempat tersebut. Maka kita akan gabungkan menjadi 8 hingga 12 PDN,” kata Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel A. Pangerapan saat Webinar Menuju Indonesia Satu Data, yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran, Kamis (29/04/2021).
Selain pusat data, lanjut Semuel, juga dibutuhkan jaringan intra pemerintah sebagai penghubung, dan penyederhanaan aplikasi SPBE. Ia mencatat, ada 27.400 aplikasi dari 630 instansi pusat dan daerah.
“Nantinya disederhanakan menjadi sekitar 50 aplikasi umum dan 50 database sektoral terintegrasi. Sehingga tidak buang-buang resources untuk pembuatan dan pengembangan, yang kemudian terbentuk sub sistem yang efisien, efektif, dan sangat handal,” terang Semuel yang biasa dipanggil Sammy.
Dikatakan pula oleh Dirjen Aptika, pembangunan PDN akan melibatkan sejumlah instansi atau lembaga. Pembangunan sarana dan prasarana oleh Kemkominfo, audit sistem keamanan oleh BSSN, dan audit sistem elektronik oleh BPPT. “Penyediaan Government Cloud dan pengelolaan PDN juga oleh Kominfo,” tuturnya.
Lihat juga: Kominfo Targetkan Pusat Data Nasional Selesai Tahun 2022
Melalui penyederhanaan dan integrasi SPBE tadi, data-data tidak lagi saling tercecer. Seperti Presiden Joko Widodo pernah sampaikan, bahwa data merupakan ‘new oil‘ atau minyak baru.
“Minyak lama harus dicari dan bisa habis, sedangkan minyak baru harus dikumpulkan dan tidak bisa habis. Kegiatan kita setiap hari menghasilkan data,” jelas Sammy.
Sementara kemampuan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) juga perlu ditingkatkan untuk mewujudkan kolaborasi SPBE. ASN dituntut untuk memahami realitas baru di ruang digital. Sebuah kondisi ketika manusia saling terhubung (hyperconnected) antara ruang fisik dan ruang digital.
“Kolaborasi dengan jajaran pemerintah, kuncinya adalah SDM. ASN yang sudah ada perlu ditingkatkan, agar memahami ruang digital. Bila belum semuanya paham ruang digital, bagaimana bisa memahami SPBE?” tanya Dirjen.
Dengan kondisi itu, dibutuhkan SDM yang memiliki kesadaran baru, pengetahuan baru, dan keahlian baru. Indonesia sendiri butuh 9 juta talenta baru, yang baru terpenuhi 100 ribu per tahun oleh Kementerian Kominfo.
“Contohnya banyak terjadi hijacking SDM di startup, karena sulitnya menciptakan SDM digital. Kominfo hanya mampu menghasilkan 100 ribu talenta digital per tahun, melalui pelatihan secara gratis dan bersertifikat,” ungkap Dirjen Semuel.
Lihat juga: Digital Talent Scholarship (DTS)
Sedangkan Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan (LAIP), Bambang Dwi Anggono ikut menambahkan, ribuan pusat data di banyak instansi terjadi akibat warisan dari Revolusi Industri 3.0 di tahun 2000-an. Ciri khas teknologi di era itu adalah komputer, internet, dan aplikasi yang saling berdiri sendiri.
“Konsekuensi dari itu adalah inefisiensi belanja. Berdasarkan perhitungan kita, untuk operasional data center mencapai Rp 8,1 trilyun per tahun. Sedangkan operasional aplikasi sekitar Rp 2,7 trilyun per tahun. Oleh sebab itu kita harus berubah,” tegasnya.
Lihat juga: Bangun Pusat Data Nasional di Empat Lokasi, Ada Beragam Pertimbangan
Direktur LAIP yang biasa disebut Ibenk juga menyebut tantangan terberat dalam SPBE adalah orang atau people. Menempatkan orang pada tempat yang tepat untuk pengelolaan SPBE biasanya dipenuhi oleh ahli IT.
“Namun belum tentu pikirannya (mindset) integratif yang berpola NKRI melalui SPBE. Membangun kolaborasi itu pekerjaan yang tidak mudah,” tutup Ibenk. (mhk)