Informasi FUD Picu Meningkatnya Hoaks Vaksinasi Covid-19

Perwakilan Tim Komunikasi Publik KPC PEN, Donny Budi Utoyo saat memberikan paparan di webinar "Digital Safety: Peran Serta dalam Melawan Hoaks Vaksinasi Covid-19" yang diadakan secara daring, Selasa (26/01/2021).

Jakarta, Ditjen Aptika – Berdasarkan survei yang dilakukan WHO, Kemenkes dan UNICEF, persentase masyarakat Indonesia yang bersedia divaksin baru 64,8 Persen. Angka tersebut masih kecil untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) untuk menekan laju penularan virus Covid-19.

“Dari hasil survei tersebut ditemukan bahwa alasan masyarakat yang belum bersedia divaksin karena menerima informasi yang bersifat fear uncertainty and doubt (FUD) di sosial media,” ujar perwakilan dari tim Komunikasi Publik KPC PEN, Donny Budi Utoyo dalam webinar Digital Safety: Peran Serta dalam Melawan Hoaks Vaksinasi Covid-19 diadakan secara daring, Selasa (26/01/2021).

Menurutnya, informasi bersifat FUD ini bisa meningkatkan angka hoaks atau disinfodemi yang tersebar. “Ditambah lagi, berdasarkan hasil survei dari Mastel, penyebaran hoaks paling besar ada di sosial media termasuk aplikasi chatting,” jelasnya.

Hingga Januari 2021, telah ada 1300 hoaks berbahasa Indonesia, 70 diantaranya merupakan hoaks mengenai vaksinasi Covid-19.

“Jadi, yang kita lawan saat ini bukan hanya virusnya tapi juga hoaks atau disinfodemi terkait Covid-19,” ujarnya.

Sebagai upaya memberantas hoaks atau disinfodemi vaksinasi yang tersebar, ia mengimbau agar masyarakat lebih peduli untuk mengecek informasi yang diterima apabila meragukan khususnya mengenai vaksinasi Covid-19 melalui situs-situs resmi yang sudah disediakan oleh kementerian/lembaga.

“Apabila masyarakat tidak mudah terpapar hoaks dan bersedia divaksin, maka Indonesia bisa mencapai kekebalan kelompok,” jelas Donny,

Lihat Juga: Vaksinasi Dimulai, Sistem Informasi Terintegrasi Pastikan Data Akurat

Memiliki pendapat yang sama dengan Donny, Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho juga mengajak masyarakat untuk melakukan pemeriksaan fakta terkait vaksinasi Covid-19.

Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho saat memberikan paparan dalam webinar (26/01).

“Indonesia telah memiliki ekosistem periksa fakta. Masyarakat sudah bisa mencari tahu informasi yang benar melalui situs-situs resmi tersebut,” ungkapnya.

Selanjutnya, ia juga menganjurkan untuk mengikuti pendapat dokter dan pakar terkait virus Covid-19. “Namun, tetap hati-hati dengan oknum dokter yang menyebarkan informasi membahayakan di sosial media,” katanya.

Terakhir, pria yang disapa Aji ini juga meminta masyarakat untuk terus berpikir kritis dan tidak cepat mengambil kesimpulan terhadap informasi vaksin yang beredar.

Upaya Kominfo dalam Penanganan Hoaks Vaksinasi Covid-19

Koordinator Pengendalian Konten Internet Ditjen Aptika, Anthonius Malau saat memberikan paparan pada webinar (26/01).

Sementara itu Koordinator Pengendalian Konten Internet Ditjen Aptika, Anthonius Malau menjelaskan upaya existing Kementerian Kominfo dalam penanganan konten negatif termasuk hoaks terkait Covid-19.

Ia menjelaskan setiap hari Kemkominfo menerima aduan dari masyarakat dan permintaan kementerian/lembaga berwenang untuk melakukan verifikasi fakta terhadap suatu konten. “Kami juga melakukan patrol siber yang dilakukan 24 jam,” tambah Anthonius.

“Temuan konten-konten itu diverifikasi untuk kemudian kami lakukan penindakan. Setelahnya, kami lakukan rilis konten yang sudah distempel untuk disebarkan ke Dinas Kominfo se-Indonesia,” jelasnya.

Lihat Juga: Tujuh Upaya Atasi Hoaks saat Pandemi Covid-19

Selain upaya tersebut, Kemkominfo memiliki Gerakan Nasional Literasi Digital yang melakukan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap pengetahuan dan kemampuan menggunakan TIK, kerja sama dengan Direktorat Siber Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan penegakan hukum bagi pembuat dan penyebar isu hoaks, serta pengajuan blokir atau take down konten hoaks ke platform media sosial.

“Tugas memerangi hoaks khususnya terkait vaksinasi Covid-19 ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga masyarakat. Laporan masyarakat dibutuhkan untuk menekan penyebaran hoaks agar mendapat informasi yang benar dan terliterasi dengan baik,” tutupnya. (pag)

Print Friendly, PDF & Email