Jakarta, Ditjen Aptika – KemenPPPA menyatakan perempuan lebih banyak terpapar hoaks selama pandemi Covid-19. Tercatat kasus hoaks meningkat sebesar 17 persen.
Hal itu dikatakan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni saat Webinar IEEE Foundation: Kiat Menjadi Bijak Menghadapi Informasi Hoaks di Masa Pandemi Covid-19 melalui Zoom, Sabtu (22/08/20).
“Perempuan lebih banyak dan mudah terpapar informasi hoaks dipicu dari psikologis dan emosinya, terutama terkait isu kesehatan,” ujar Agustina.
Deputi yang biasa dipanggil Erni ini mengatakan perempuan yang telah memiliki keluarga lebih mudah terpapar hoaks. Alasannya karena memiliki rasa khawatir yang lebih terhadap anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
Erni membagikan beberapa langkah yang telah dilakukan KemenPPPA bersama Satgas Covid-19 dalam mencegah hoaks. “Misalnya mencari referensi suatu berita, memperhatikan url apakah dari pemerintah atau pers terverifikasi, mengecek keaslian foto, dan tidak ikut menyebarkan berita yang terbukti tidak benar,” jelasnya.
Selain itu, Erni menyebutkan bahwa KemenPPPA akan melakukan rencana pembuatan kertas kebijakan tentang penurunan potensi penyebaran hoaks dan edukasi literasi digital di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) melalui kesetaraan gender bidang iptek bersama Kemkominfo, BPPT, LPP TVRI, RRI, dan LIPI.
“Selain pemerintahan dan instansi terkait, perguruan tinggi juga dapat bergabung bersama memberikan edukasi literasi digital kepada perempuan,” ungkap Erni.
Lihat Juga: Literasi Digital Kurangi Kesenjangan Akses Digital Perempuan
Sementara itu, Koordinator Literasi Digital Ditjen Aptika Kemkominfo, Rizki Amelia menyebutkan bahwa terdapat beberapa tingkat penanganan konten di internet. “Yaitu, upstream, midstream, dan downstream,” katanya.
Perempuan yang biasa dipanggi Kiki ini mengatakan pada tingkat upstream terdapat program Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi yang selama masa pandemi ini memberikan edukasi di berbagai platform, seperti Youtube dan Instagram Live.
Kiki melanjutkan penanganan, pengawasan, dan verifikasi konten hoaks ada pada tingkat midstream. “Kami juga melakukan beberapa penanganan hoaks seperti patroli siber Tim AIS Kominfo, melakukan counter narasi bekerjasama dengan K/L lain dan multistakeholder,” ujarnya.
Selain itu, “Melakukan siaran pers setiap hari untuk menyebarluaskan apa saja yang terbukti hoaks atau disinformasi yang ditemukan Tim AIS, melakukan pemblokiran serta menyediakan telegram Chatbot Antihoaks untuk cek fakta,” lanjut Kiki.
Di tingkat downstream, penegakan hukum terkait konten yang terbukti hoaks dilakukan. “Terhadap konten hoaks terkait Covid-19 kami bekerja sama dengan Gugus Tugas Covid-19 untuk bertukar informasi dan penjatuhan pidananya,” ujar Kiki.
Lihat Juga: Tujuh Upaya Atasi Hoaks saat Pandemi Covid-19
Penjatuhan hukuman atas penyebar hoaks mengacu pada beberapa regulasi, misalnya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Mengetahui Informasi yang Baik dan Benar terkait Covid-19
Kepala Desk Investigasi dan Liputan Khusus Harian Kompas, Billy Khaerudin mengatakan saat ini informasi tidak lagi dikuasai oleh jurnalis ataupun media massa. “Dengan media sosial, setiap orang memiliki kebebasan untuk menyebarkan informasi,” ungkapnya.
Billy menjelaskan selama pandemi Covid-19, infodemi atau berita berlebih terhadap sesuatu bisa memperburuk kondisi. Menurutnya, masyarakat perlu mengetahui berita yang baik dan benar agar tidak mudah terpapar hoaks.
“Kemampuan jurnalistik kini dibutuhkan semua orang. Hal ini dibutuhkan agar kita bisa melakukan kontrol dari infodemi yang bisa saja menjadi hoaks,” ujar Billy.
Lihat Juga: Disinfodemi jadi Faktor Masyarakat Tidak Disiplin Protokol Kesehatan
Billy menyebutkan masyarakat dan jurnalis saat ini harus memiliki keterampilan untuk membedah kebenaran, serta mampu menimbang informasi dari pers dan sumber lain agar tidak menjadi korban hoaks atau infodemi.
Billy memberikan tips yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu diet berita. Melalui diet berita, masyarakat dapat memilih informasi yang ingin diketahui dan mampu menjelaskannya kepada orang lain. Serta mencatat hal penting yang ingin diketahui dari suatu isu.
“Harapannya dengan mempelajari jurnalistik masyarakat dapat menjadi jurnalis untuk dirinya, sehingga dapat terhindar dari hoaks atau infodemi,” tutup Billy. (pag)