Jakarta, Ditjen Aptika – Kementerian Komunikasi dan Informatika terus memantau dan menapis penyebaran konten negatif di ruang digital menjelang Pemilihan Umum serentak tahun 2024, upaya itu ditujukan untuk menjaga Pemilu 2024 yang damai. Namun demikian, menurutnya Kementerian Kominfo melakukan kolaborasi dengan berbagai stakeholders termasuk aparat penegak hukum.
“Kita tidak bekerja sendiri tentunya tetapi juga melakukan kolaborasi dengan berbagai stakeholder yang lain terutama bagaimana melibatkan komunitas – komunitas untuk aware untuk peduli dan konsen dengan penyebaran hoaks ini,” ujarnya dalam acara Rilis Survei Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024 di Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2023).
Dengan pengalaman penyelenggaraan Pemilu dua kali pada tahun 2014 dan 2019, Kementerian Kominfo memiliki infrastruktur monitoring untuk menangani disinformasi, misinformasi dan juga malinformasi. Selain itu, Kementerian Kominfo bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait dalam melakukan filter terhadap konten negatif.
“Misalnya ujaran kebencian yang berpotensi untuk memecah keutuhan dan mempertajam polarisasi dalam masyarakat. Kita tidak ingin Pemilu 2024 menjadi momen yang negatif buat keutuhan masyarakat dan bangsa. Kita ingin diskusi bisa berkembang dengan dinamis. Meskipun ada perbedaan pendapat, itu biasa, tapi tidak sampai mengarah pada ujaran kebencian, penyebaran disinformasi dan misinformasi yang memberikan efek negatif buat masyarakat,” jelas Wamenkominfo.
Wamen Nezar Patria menegaskan Kementerian Kominfo tetap mendukung kebebasan berpendapat. Menurutnya. tidak ada satu kebijakan yang membatasi kebebasan berbicara dan Kementerian Kominfo ikut serta menjaga ruang kebebasan berbicara tersebut.
“Kita sudah masuk ke dalam satu alam yang demokratis dan kebebasan berbicara adalah salah satu tiang untuk demokrasi. Tapi ruang kebebasan berbicara ini tentu saja diatur oleh sejumlah regulasi. Jangan sampai ruang kebebasan ini digunakan semena-mena untuk menyebarkan ujaran kebencian dan disinformasi yang menyesatkan masyarakat dan juga mempertajam polarisasi,” tandasnya.
Wamenkominfo juga mengapresiasi CSIS dan Google Indonesia yang telah melakukan survei opini publik terkait penggunaan internet yang sehat dalam rangka Pemilu 2024. Menurutnya, hasil survei tersebut sangat berguna bagi Kementerian Kominfo melakukan tindakan mitigasi untuk menciptakan ruang digital yang sehat.
“Kita mencatat beberapa hasil survei ini sangat berguna yaitu ada peningkatan pemakaian media sosial juga oleh generasi muda. Kemudian bagaimana konten yang beredar di platform media sosial itu bisa dilihat dari kecenderungan disinformasi yang dihasilkan,” ujarnya.
Minimalkan Banjir Disinformasi
Berkaitan dengan membanjirnya disinformasi menjelang Pemilu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan menyatakan arti penting kecepatan dalam menyampaikan informasi dari badan atau lembaga yang memiliki otoritas. Menurutnya, Indonesia bisa berkaca dari pengalaman pandemi Covid-19 di mana masyarakat mengetahui informasi dari media yang tidak kredibel sehingga menimbulkan persoalan di masyarakat.
“Fenomena misinformasi muncul karena informasi atau fakta dari badan otoritas yang punya kewenangan, terlambat menginformasikan kepada publik. Kekosongan itulah, orang dari yang dengarnya 10 persen dikembangkan menjadi 100 persen. Perlu juga kecepatan pada lembaga yang mempunyai otoritas terhadap isu tersebut untuk memberikan informasi,” jelasnya.
Menurut Dirjen Semuel, peran serta para peserta Pemilu sangat penting dalam membantu meminimalisir banjir disinformasi. Apalagi, peserta Pemilu memiliki basis pendukung yang setiap hari selalu dibanjiri beragam informasi.
“Harus ada integritas dari para persertanya karena kalau tidak, pengikutnya akan lebih kacau. Untuk itu juga perlu yang namanya channel-channel resmi dari pada para peserta sebagai rujukan. Kalau ada persoalan, check and re-check-nya di situ,” tandasnya.
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo menilai hasil survei dari CSIS dan Google Indonesia dapat menjadi referensi penetapan program ataupun mengkaji ulang program yang sudah ada di Kementerian Kominfo.
“Saya sangat berterimakasih dengan hasil kajian ini. Mungkin kita bisa berkolaborasi lebih dalam lagi. Karena banyak sekali program terutama dalam pencegahan hoaks. Kita punya program literasi digital, jangan – jangan fokus literasi digital kita yang perlu diperbaiki atau ada program lain yang perlu diperbaiki,” jelasnya. (lry)