Denpasar, Ditjen Aptika – Peran Tentara Negara Indonesia (TNI) dalam transformasi digital adalah secara aktif memberikan dukungan dan menjaga kedaulatan negara di tengah kehidupan digital yang menjadi sumber ancaman. Mendukung hal tersebut, para prajurit TNI dibekali pilar literasi digital.
“Untuk bisa menjaga kedaulatan negara di tengah era digital, prajurit TNI perlu memahami empat pilar literasi digital (digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety),” ujar Dosen Fasilkom Universitas Indonesia, Sofian Lusa, pada acara Literasi Digital kepada Prajurit TNI bertema “TNI Makin Cakap Digital”, di Hotel Mercure Denpasar, Bali, Senin (21/08/2023).
Pilar pertama yakni digital skill atau kecakapan digital, lanjut Sofian, merupakan kemampuan menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, dan berpartisipasi dalam memanfaatkan teknologi untuk bekerja secara profesional. “Dari sisi prajurit TNI, untuk mewujudkan transformasi digital penerapan kecakapan digital perlu diterapkan kepada diri sendiri, sesama prajurit, masyarakat, dan institusi TNI,” tuturnya.
Sofian menerangkan, ada enam domain mengapa penting bagi prajurit TNI mengetahui mengenai kecakapan digital. Enam domain tersebut diantaranya cyber space, cyber threats, cyber attacks, cyber security, cyber crime, dan cyber law.
Cyber space merupakan ruang untuk interaksi dan aktivitas siber terjadi dimana terdapat data berharga dan bernilai tinggi seperti data pribadi dan keuangan, data komunikasi, data operasional logistik, rencana dan kebijakan pertahanan, data intelijen, serta data teknis militer.
“Smartphone menjadi penyumbang terbesar untuk data bernilai dan berharga, oleh karenanya para prajurit TNI perlu berhati-hati dalam menggunakannya. Karena smartphone saat ini sudah berevolusi dan digunakan untuk banyak hal seperti komunikasi, pencarian data, lokasi, pengelolaan jadwal, ataupun training dan simulasi,” ungkap Sofian.
Masih berhubungan dengan smartphone, domain kedua terkait dengan cyber threats dimana potensi bahaya dan risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas yang mencakup berbagai serangan dan kerentanan dengan target sistem komputer. Tujuannya menyebabkan kerusakan, mencuri informasi, atau mengganggu operasi terkait individu, bisnis, organisasi, bahkan pemerintah (militer).
Lihat juga: Dansatsiber TNI: Tidak Boleh Ada Lagi Prajurit yang Tidak Melek Digital
Domain selanjutnya yakni cyber attacks sudah mencakup aksi dari cyber threats. Tindakan yang dilakukan oleh pihak jahat untuk mengeksploitasi kerentanan dalam sistem komputer, jaringan, atau infrastruktur digital dengan cara merusak, mencuri data, mengganggu operasional, atau melakukan tindakan lain yang merugikan.
“Modus serangan dapat bervariasi tergantung pada situasi dan keadaan yang ditarget. Contohnya dapat berupa malware, social engineering, injeksi SQL, email spam dan phising, serangan DDoS, dan lain sebagainya,” terang Sofian.
Selanjutnya mengenai cyber security, praktik melindungi perangkat smartphone dan data dari ancaman (threat) dan serangan siber (attack). “Ini hal penting yang perlu dipahami oleh para prajurit TNI sekalian, setidaknya ada tiga hal utama,” ungkapnya.
Pertama, cakap melindungi smartphone dan data digital dengan cara membuat password menggunakan kombinasi huruf, angka, dan symbol serta biometric. Selain itu perlu rutin membarui perangkat lunak (OS), antivirus, dan firewall serta menghindari jailbreak yang berpotensi mengancam keamanan data.
Kedua, cakap untuk perlindungan atas penipuan digital dengan cara menggunakan domain email resmi untuk komunikasi dan pengiriman data. Selain itu penting untuk mengidentifikasi dan memverifikasi modus penipuan digital serta menghindari klik link atau berkomunikasi dengan pihak yang tidak dikenal.
Ketiga, cakap melindungi rekam jejak digital dengan cara mewaspadai saat melakukan koneksi pada wifi public yang gratis. Juga membatasi sharing, membiasakan selalu membaca syarat dan ketentuan, serta menghindari posting informasi pribadi dan rahasia pada media online.
Dengan menguasai ketiga kecakapan tersebut maka para prajurit TNI dapat terlindungi dari peretasan dan pencurian data, terhindari dari kejahatan digital, penipuan, dan pencurian, serta dapat membuat citra positif diri sendiri, keluarga, dan organisasi.
“Para prajurit berperan penting untuk mewujudkan transformasi digital di institusi TNI. Peningkatkan kecakapan digital individu melalui mindset life long learning menjadi kunci yang harus dimiliki oleh para prajurit agar mampu memanfaatkan teknologi untuk menjaga kedaulatan negara dan membentuk citra positif TNI,” tutup Sofian.
Sementara itu pilar digital culture disampaikan oleh Head of Laboratory of Psychology Universitas Bina Nusantara, Cornelia Istiani. Dirinya menjelasan bahwa langkah umum membangun budaya digital dengan mengindentifikasi hambatan-hambatan yang ada di lingkungan organisasi dan juga diri sendiri, maka pembangunan budaya digital menjadi lebih mudah dilakukan.
“Setidaknya tindakan dan perilaku aparatur pemerintah untuk membangun dan hidup dalam Budaya Digital, diantaranya pembiasaan, menjadi reflektif, menjadi model figure (setiap aparatur pemerintah adalah leader), dan pengalaman yang kontras untuk dapat menemukan wawasan baru (growth mindset).” terang Cornelia.
Pembiasaan atau habituasi, lanjut Cornelia, bertujuan untuk mengubah pola pikir ke arah digital mindset atau readiness. Sementara menjadi reflektif merupakan sarana untuk melatih kapasitas bernalar individu.
Setidaknya ada empat mekanisme yang dapat mempengaruhi individu dalam melakukan pengendalian dalam bertindak, diantaranya: intensionalitas (melatih fokus), fourthought (melatih keterkaitan antar sesuatu), self regulator (kemampuan meregulasi diri), self examination (kemampuan untuk menguji diri).
“Membawa bekal bagaikan jamuan menikmati irama, anggun penuh keakraban. Literasi digital ciptakan perubahan bersama TNI membangun peradaban,” pungkas Cornelia.
Pilar selanjutnya yakni digital ethics, yang dibawakan oleh Staf ahli Menteri Kominfo, Widodo Muktiyo. Ia menjelaskan mengenai membangun etika komunikasi di era digital.
“Etika digital merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (etiquette) dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu peran strategis komunikasi publik yakni komunikasi yang diarahkan kepada upaya pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan kedamaian dunia,” terang Widodo.
Oleh karena itu menurut Widodo pentingnya etika komunikasi untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Tujuan etika komunikasi sendiri diantaranya menciptakan masyarakat melek informasi, membangun kredibilitas, membangun komunikasi terbuka, dan sebagai identitas bangsa.
Selanjutnya Widodo juga menjelaskan mengenai prinsip etika komunikasi, menurutnya ada empat hal yang menjadi etika dalam berkomunikasi. “Kewajiban menghormati martabat manusia, jangan ada perundungan, ujaran kebencian, manipulasi, penyesatan, dan konten yang merendahan orang lain,” terangnya.
Kedua memperlakukan semua orang setara, lalu kebebasan berpartisipasi mengambil keputusan, dan terakhir ikut bertanggungjawab terhadap nasib orang lain.
“Saling membantu terpenuhinya kebutuhan, kebahagiaan, dan masa depan sesama. Jangan sampai media sosial disalahgunakan untuk membuat orang menderita,” pungkasnya.
Pilar terakhir yakni digital safety disampaikan oleh Founder Phytonesia, Andri Johandri, mengenai manajemen risiko transformasi digital bagi prajurit TNI. Menurutnya, peran digitalisasi dalam pertahanan semakin banyak, sarana yang sama dapat dikembangkan unik dan beragam.
“Ketidakmampuan mengembangkan manfaat digital dalam pertahanan merupakan risiko. Perlu kemampuan pengembangan nilai tambah digital, minimal pemahaman risiko digitalisasi harus dipahami dalam melindungi negara dan bangsa,” tuturnya.
Digitalisasi dalam pertahanan militer, lanjut Andri, bak pisau bermata dua, ada manfaat dan risiko.
“Pemahaman yang diperlukan dalam pertahanan meliputi pemahaman risiko dalam pengamanan individu, kesatuan, dan kebijakan serta prosedur tetap. Hal tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan manajemen risiko,” papar Andri.
Pada kesempatan tersebut Andri coba memaparkan mengenai manajemen risiko sederhana yang meliputi identifikasi, analisa, tindakan, dan evaluasi. Identifikasi kemungkinan dan besarnya risiko.
“Kemudian analisa dampak masing-masing risiko, termasuk bobot risiko untuk menentukan prioritas penanganan. Lalu lakukan perencanaan penyelematan bila terjadi risiko,” tutur Andri.
Terakhir, lakukan evaluasi secara berkala/periodik untuk menilai kemungkinan pergeseran risiko serta menyempurnakan tindakan dengan mulai dari re-identifikasi.
Pada akhir paparannya, Andri menekankan dalam keamanan digital peran individu anggota TNI dalam memahami manfaat dan risiko digital sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan agar tidak terjebak pada masalah yang tidak dipahami.
Selain itu, kemandirian dan kemampuan personil TNI untuk memahami, mengoperasikan dan menyempurnakan sarana digital dalam pertahanan negara perlu ditingkatkan agar tidak tergantung kepada pihak lain.
“Perlu peningkatkan inovasi dan kemampuan bela negara sertamenjaga ketertiban di dalam negeri dengan optimalisasi penggunaan fasilitas digital dengan meningkatkan kemampuan dan manfaat digitalisasi. Dengan begitu, pertahanan digital optimal negara aman,” pungkasnya. (lry)