Bogor, Ditjen Aptika – Penyalahgunaan media sosial oleh beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) beberapa tahun belakangan ini menjadi sorotan. Sebagai abdi negara ASN diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Demikian poin yang disampaikan para pemateri dalam Training for Trainer (ToT) Literasi Digital Sektor Pemerintahan yang diselenggarakan Kementerian Kominfo di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ToT itu diikuti 30 ASN dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Ketua Tim Literasi Digital Sektor Pemerintahan, Direktorat Pemberdayaan Informatika, Kementerian Kominfo, Niki Maradona mengungkapkan beberapa contoh penyalahgunaan media sosial oleh ASN, yaitu terkait dengan radikalisme, ujaran kebencian, pelanggaran netralitas ASN, dan minimnya kesadaran akan keamanan.
“Tahun depan adalah tahun politik, rawan sekali. ASN perlu kita sadarkan. ASN harus profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik, sebagai pelayan publik, dan yang terpenting sebagai perekat dan pemersatu bangsa,” ujar Ketua Tim Niki saat ditemui pada Senin (14/11/2022) lalu.
Dijelaskan, teknologi informasi berkembang pesat dan mengubah kehidupan manusia secara radikal, terutama kehidupan sosial-budaya dan kerja. Pada masa pandemi aktivitas di ruang digital meningkat tajam. Dengan meningkatnya aktivitas di ruang digital, bangsa Indonesia menghadapi tantangan aktivitas negatif di ruang digital seperti penyebaran berita bohong atau hoaks, penyebaran konten pornografi, penipuan online, cyberbullying, radikalisme, dan konten terkait judi online.
Berdasarkan laporan hasil riset mengenai pola pemakaian media sosial di sejumlah negara dari We Are Social dan Hootsuite mengenai “Digital 2021: The Latest Insights Inti the State of Digital” yang diterbitkan pada 11 Februari 2021 lalu, orang Indonesia mengakses internet per hari rata-rata 8 jam 52 menit. Sebanyak 3 jam 14 menit digunakan untuk mengakses media sosial. Disebutkan pula WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter secara berurutan adalah media sosial yang paling banyak diakses para pengguna di Indonesia.
Lihat juga: Literasi Digital Sektor Pemerintahan Kawal Tahun Politik Jelang Pemilu 2024
Sementara itu berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional yang dilakukan oleh Kemkominfo dan Katadata Insight Center pada tahun 2021 disebutkan kapasitas masyarakat Indonesia perihal Literasi Digital memiliki skor 3.49 dari 5.00, yang berada dalam kategori “sedang”.
“Jangan sampai ASN sendiri yang melakukan penyalahgunaan media sosial. Misalnya, mungkin karena ketidaktahuan, melakukan ujaran kebencian atau ikut-ikutan radikalisme. Seperti yang terjadi di tahun 2018 lalu ada tiga ASN yang terkena sanksi akibat aktivitasnya di media sosial. Jangan sampai terulang kembali di tahun depan,” kata Niki menambahkan.
Menurut Ketua Tim Niki kesadaran dan kecakapan ASN dalam menggunakan media sosial harus didorong sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti itu tidak terjadi lagi di masa depan.
ASN Terikat Kode Etik
Senada dengan Niki, Ketua Tim Perencanaan Sistem Informasi Biro SDM Kemendikbudristek Hanjar Basuki menegaskan ASN terikat dengan kode etik sehingga semua ucapan, perbuatan, dan tindakannya diawasi. Status ASN maupun TNI/Polri akan terus melekat meski di luar jam kerja bahkan sampai pensiun. Artinya status itu melekat seumur hidup, begitu pula dengan istri, anak-anak sampai ke keluarga besarnya.
“ASN tidak hanya ketika di kantor, saat di tengah masyarakat atau di mana pun tetap ASN. Tanggung jawab kepada masyarakat terus melekat. Artinya sebagai ASN harus mampu menjaga ucapan, tingkah laku, dan perbuatan. Jangan sampai hal-hal yang disebutkan tadi menimbulkan hal yang tidak baik bagi kita semua (ASN) dan bisa berdampak kepada organisasi (institusi). Oleh sebab itu literasi digital menjadi penting, jangan sampai melanggar norma-norma yang diatur,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya Kemendikbudristek tersebut.
Beberapa contoh yang pernah ditemui seperti seorang ASN yang memakai atribut partai tertentu lalu dengan bangga diposting di media sosial. Atau memberi tanda “like” atas sebuah komentar. Hanjar mengatakan hal-hal seperti ini dapat dianggap sebagai ASN tidak netral.
Dalam kesempatan yang sama pakar teknologi informasi, Teddy Sukardi yang memberikan materi tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektrobnik (UU ITE) dan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) mengatakan banyak kasus yang melibatkan ASN, dimana mereka menjadi obyek pidana karena melanggar hukum dan sudah banyak yang masuk ke pengadilan. Hal itu karena mereka tidak menyadari adanya sanksi hukum dari perbuatan mereka di ruang digital.
“Karena online mereka pikir bebas-bebas aja. Jadi hal ini terkait dengan awareness, pengetahuan mereka tentang hukum juga kurang. Kita perlu terus mengingatkan. Terkait dengan literasi digital, ASN perlu sadar hukum terkait aspek digital yang ada di UU ITE dan UU PDP,” jelas Teddy.
Lihat juga: Hendri: Data Pribadi Tidak Hanya Soal Keamanan, Tapi Juga Tata Kelola Data
Terkait dengan UU PDP, ASN memiliki data pribadi yang harus dilindungi sementara di sisi lain, ada ASN yang bertugas sebagai pengendali data dimana ia harus melindungi data pribadi milik publik. Dalam melakukan tugasnya tersebut, ASN mengumpulkan data pribadi juga, nama, alamat atau data kesehatan, ekonomi.
“ASN harus mengerti tanggung jawabnya sebagai pengendali data. Contoh, jika ingin menggunakan data pribadi tertentu ada persyaratannya seperti apa, kegunaan data diatur seperti apa dan kalau ada kontrak diperkecualikan. Kalau memang ada kontrak sudah ada persetujuan data digunakan,” terang Teddy Sukardi.
Etika di Ruang Digital
Menurut praktisi TIK, Tri Hadiyanto Sasongko yang membawakan materi mengenai etika digital, adab ketika berinteraksi dan berkomunikasi di dunia nyata maupun di dunia maya tetap sama. Sesuatu yang dianggap tidak layak di dunia nyata seharusnya juga berlaku di dunia maya.
“Hal ini mungkin yang belum dimengerti kebanyakan masyarakat, termasuk ASN. Etika ketika sedang online di media sosial maupun offline tetap sama. Kadang ketika sedang di Twitter kita merasa bebas mencaci maki orang atau melempar kritik tajam hingga menyerang personal. Ketika main Tiktok berjoget-joget dengan ekspresif dan vulgar. Sesuatu yang dianggap tidak layak atau tidak pantas dilakukan di dunia nyata jangan dilakukan di dunia maya. Adab berkomunikasi dan bergaul di dunia nyata dan di dunia maya sama,” ucap Tri menerangkan.
Peran ASN tidak hanya melekat di kantor ketika jam kerja tapi juga ketika berada di rumah, jadi meskipun bermain media sosial menggunakan akun pribadi harus bisa memilih dan memilah mana yang layak diposting dan tidak.
“Jangan sampai ASN yang memiliki fungsi dan peran sebagai perekat dan pemersatu bangsa malah menjadi pemecah belah persatuan bangsa melalui media sosial. Ini yang berbahaya. Apalagi kita semakin dekat dengan tahun politik, tensi makin hangat. Setiap orang memang punya hak politik dan kebebasan berekspresi masing-masing, tapi sebagai ASN harus paham dan bisa menempatkan diri mana yang untuk dibagikan di media sosial dan disimpan sendiri,” tegasnya.
Lihat juga: Literasi Digital Pemerintahan Dorong ASN BerAKHLAK yang Kompeten dan Adaptif
Literasi digital ini, menurut Tri bukan hanya untuk ASN saja tapi diharapkan dapat dibagikan atau disosialisasikan juga kepada orang terdekat. Misalnya suami, istri atau anak, untuk menghindari karier ASN itu terancam gara-gara postingan pasangan atau keluarganya.
Kemkominfo menginisiasi kegiatan Literasi Digital di sektor pemerintahan untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia. Kegiatan tersebut berkolaborasi dengan Kemendikbudristek dalam menyelenggarakan kegiatan Training of Trainers (ToT) Literasi Digital Sektor Pemerintahan untuk ASN Kemendikbudristek. Kegiatan dilaksanakan secara luring di Hotel Harris, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 14-15 November 2022.
Kegiatan literasi digital tersebut bertujuan untuk mempersiapkan para ASN Kemendikbudristek dengan pemahaman literasi digital untuk menjadi pengajar literasi digital di lingkungan pemerintahan pada 2023 mendatang. (lg)