Jakarta, Ditjen Aptika – isu mengenai konten hoaks masih diberitakan media. Media menampilkan data dari laporan hoaks vaksin Covid-19 yang ditangani Kemkominfo.
Liputan6.com mengutip laporan Kemkominfo hingga Senin (11/10/2021) telah terdapat 352 temuan hoaks yang tersebar di berbagai media sosial dan sebarannya mencapai 2.225 konten.
Sebaran hoaks paling banyak ditemukan di Facebook. Disana terdapat 2.042 konten hoaks seputar vaksin Covid-19.
Sementara Twitter berada di posisi kedua. Dalam catatan Kementerian Kominfo ada 108 sebaran hoaks soal vaksin covid-19 di platform ini.
Situs berbagi video, seperti YouTube dan TikTok juga tak luput dari sasaran hoaks. Tercatat, ada 43 hoaks di YouTube dan 21 di TikTok. Lalu 11 sebaran hoaks sisanya ditemukan Kemkominfo berada di Instagram.
Pihak Kementerian Kominfo sudah melakukan takedown kepada semua informasi hoaks tersebut. Salah satu postingan soal vaksin Covid-19 yang sudah ditelusuri kebenarannya oleh Cek Fakta adalah klaim soal Uni Eropa yang hentikan vaksin covid-19 mulai 20 Oktober 2021.
CIPS: Pembukaan Akses ke Data Pribadi Harus Dalam Keadaan Tertentu dan Jelas
Isu mengenai RUU PDP juga ramai diberitakan media. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, wacana untuk membuka akses pemerintah terhadap data pribadi masyarakat tanpa persetujuan pemilik data dalam keadaan tertentu perlu diperjelas.
Setelah beberapa kejadian kebocoran data masyarakat yang memanfaatkan layanan publik yang dikelola oleh instansi pemerintahan seperti BPJS Kesehatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil beberapa waktu lalu, wacana yang masih diperdebatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi ini perlu mendapatkan perhatian lebih.
Wacana ini perlu dipikirkan secara strategis dengan menimbang dampak positif dan juga dampak negatifnya. Sejauh mana pemerintah bisa memanfaatkan akses tersebut dengan bijaksana dan sejauh mana mereka bisa memastikan akses tersebut benar-benar digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan pemilik data,” terang Pingkan yang dikutip oleh Wartaekonomi.co.id, Senin (11/10/2021).
Pingkan juga menyatakan, CIPS melihat setidaknya ada dua poin penting yang masih menjadi perdebatan dan perlu disoroti. Dua poin tersebut yaitu yang berkaitan dengan faktor risiko keamanan dari pembukaan akses pemerintah ke data pribadi masyarakat, dan pengecualian bagi pemerintah dalam mengakses data pribadi masyarakat tanpa persetujuan pemilik data dalam kondisi tertentu yang mencakup pertahanan dan keamanan nasional; proses penegakkan hukum; pengawasan sektor jasa keuangan; stabilitas sistem aturan moneter, pembayaran, keuangan; serta kepentingan masyarakat dalam administrasi negara. (pag)