Jakarta, Indonesia – Dalam penanganan konten di internet, Kementerian Kominfo menganut metode daftar hitam atau blacklist. Hal itu untuk menjaga iklim demokrasi tetap terjaga.
“Selain blacklist, ada juga yang menggunakan whitelist dalam penanganan konten di internet. Salah satu faktor utama Kominfo menganut metode blacklist yaitu demi menjaga demokrasi,” jelas Plt. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Teguh Arifiyadi, saat Webinar Digital Society dengan tema Cara Mengidentifikasi dan Menangkal Hoaks di Internet, Kamis (26/08/2021).
Sebelum berbicara lebih jauh, Teguh menjelaskan lebih lanjut definisi dua metode tersebut. Metode blacklist mempunyai prinsip, semua konten boleh diunggah kecuali yang dilarang.
“Konten yang dilarang akan ditentukan berdasarkan penyaringan. Prinsipnya konten masuk dulu ke internet baru disaring oleh pemerintah. Jika ditemukan konten yang melanggar baru dilakukan pemutusan akses,” terangnya.
Sementara itu jika metode daftar putih atau whitelist prinsipnya semua konten itu dilarang kecuali yang diperbolehkan. Sehingga konten-konten tersebut sudah melalui filtrasi oleh pemerintah. Negara-negara penganut metode whitelist biasanya memiliki sistem kenegaraan otoritatif, seperti China, Libya, Iran, dan Arab Saudi.
“Jika menggunakan whitelist, pemerintah akan membaca semua konten dan melakukan filtering apa yang boleh dan tidak. Dampaknya kebebasan masyarakat dalam menyampaikan suatu pendapat dan pemikiran menjadi sangat terbatas,” tutur Teguh.
Selain itu, pada metode whitelist seluruh konten akan disalurkan melalui satu pipa besar (single gateway). Satu pipa besar yang dilewati oleh konten-konten dan dilakukan filtrasi sebelum bisa diakses.
“Sedangkan metode blacklist, konten dialirkan melalui pipa-pipa kecil yang jumlahnya sangat banyak. Pipa-pipa kecil tersebut bisa saja disatukan menjadi satu pipa besar, tapi biayanya akan sangat besar,” katanya.
Lihat juga: Sejak Januari Hingga Juni 2021 Kominfo Tangani 447 Fintech Ilegal
Hal tersebut karena sejarah internet di Indonesia pada awalnya dibangun oleh komunitas dan pihak swasta. Berbeda dengan negara-negara otoritatif, yang infrastruktur internet dari awal dibangun oleh pemerintah.
“Ini merupakan gambaran paling singkat dan sederhana mengenai metode penanganan internet di Indonesia. Mengapa Indonesia masih banyak bolongnya, masih bisa sering ditemukan konten hoaks, pornografi, dan konten negatif lainnya meski sudah ada penyaringan,” jelas Teguh.
Tantangan Penanganan Konten Negatif di Indonesia
Pada kesempatan itu Teguh yang juga merupakan Ketua dan Pendiri Cyber Law Indonesia juga menjelaskan tantangan-tantangan dalam penanganan konten negatif di Indonesia. Alasan utama seseorang berani berbuat kejahatan di internet pada prinsipnya karena dua hal, yakni internet yang bersifat anonimitas dan borderless.
“Anonimitas artinya semua orang di internet bisa menjadi apapun dan siapapun. Sedangkan borderless artinya tanpa batas, jadi orang mau berbuat jahat bisa darimana saja dengan jangkauan ke mana saja tanpa batas wilayah,” terangnya.
Dua prinsip tersebut yang membuat orang-orang berani untuk membuat konten-konten yang melanggar peraturan menurut Teguh. Sementara itu dari segi penanganan konten negatif di Indonesia, terdapat tantangan-tantangan seperti:
- End to end encryption,
- Modus hit and run,
- Sifat konten yang reproducible,
- Anti blocking browser (Open Proxy dan VPN),
- Kesadaran Masyarakat.
Lebih lanjut Teguh menjelaskan, end to end encryption merupakan prinsip pelindungan privasi dalam aplikasi percakapan secara pribadi. Contohnya seperti Whatsapp dan Telegram. Konten yang berada pada aplikasi itu akan sulit dijangkau karena pemerintah atau siapapun tidak bisa membukanya tanpa ada legal concern.
“Pemerintah tidak punya kewenangan secara undang-undang untuk mengakses catatan atau percakapan warga negara karena itu melanggar hak asasi manusia. Jika konten beredar di internet akan mudah dicari dan diblokir, tapi jika dilindungi oleh enkripsi akan sangat sulit,” katanya.
Kemudian ada juga hit and run, dimana oknum membuat suatu konten negatif kemudian di-capture dan disebarkan melalui grup-grup layanan percakapan. Tujuannya untuk menghilangkan jejak, sehingga tidak diketahui asal dan siapa yang menyebarkan.
Selanjutnya reproducible, yaitu sifat dari pembuatan konten di internet yang mudah diproduksi ulang. Lalu maraknya penggunaan anti blocking browser (Open Proxy dan VPN) juga menjadi tantangan tersendiri.
Lihat juga: Kominfo Inisiasi Program LDN untuk Pemanfaatan Ruang Digital yang Optimal
Plt. Direktur Teguh juga menyoroti belum baiknya tingkat literasi masyarakat Indonesia menurut hasil survei. “Masyarakat terutama tenaga pendidik dan tokoh masyarakat perlu memiliki pemahaman literasi yang baik karena mereka merupakan pihak-pihak yang akan meneruskan pemahaman literasi kepada banyak orang,” harapnya.
Pada akhir sesi Teguh menitipkan pesan agar masyarakat ikut membantu pemerintah dalam penanganan konten negatif di internet. Pemerintah telah memiliki sistem AIS yang melakukan patroli siber selama 24 jam setiap hari.
“Jika kalian menemukan konten negatif di internet, pemerintah punya layanan aduankonten.id. Daftarkan diri kita dan laporkan konten tersebut di sana,” pungkas Teguh. (lry)