Jakarta, Ditjen Aptika – Isu terkait hoaks vaksin Covid-19 muncul dalam pemberitaan 24 jam terakhir. Topik yang diangkat mengenai pernyataan UNICEF terkait hoaks yang dapat menggagalkan vaksinasi Covid-19 dan upaya yang dapat dilakukan masyarakat agar menekan persebaran hoaks.
Media menyorot pernyataan Communication for Development Specialist UNICEF Rizky Ika Syafitri yang menyatakan hoaks vaksin dapat menggagalkan program vaksinasi pemerintah, hal ini pernah terjadi di tahun 2017 dan 2018 dimana pemerintah melakukan vaksinasi rubela secara tidak maksimal akibat hoaks yang beredar.
“Dulu 2017 dan 2018, Kemenkes pernah melakukan kampanye vaksin campak rubela, dan salah satu alasan targetnya tidak tercapai karena banyak hoaks yang beredar,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (8/4).
Menurut dia, WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia menempatkan hoaks atau misinformasi sebagai salah satu ancaman global terhadap kesehatan masyarakat.
Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menempatkan hoaks sebagai ancaman global terhadap kesehatan masyarakat. Literasi digital perlu diberikan agar masyarakat dapat memahami bahwa tidak semua informasi yang beredar di internet itu benar.
Per 6 April 2021, terdapat 154 hoaks yang beredar di masyarakat terkait vaksin COVID-19. Hal ini menyebabkan masyarakat memiliki rasa tidak peraya kepada otoritas pemerintah dalam melakukan vaksinasi Covid-19.
Facebook Tidak Infokan 533 Juta Pengguna yang Datanya Bocor
Isu mengenai Facebook tidak menginfokan kebocoran 533 juta data penggunanya turut mewarnai pemberitaan. Facebook menjelaskan pihaknya tidak memberi tahu lebih dari 530 juta pengguna yang data pribadinya bocor secara online.
Akhir pekan lalu, Business Insider melaporkan bahwa data pribadi sebanyak 533 juta pengguna Facebook bocor dan dipublikasikan. Data tersebut berupa nomor telepon, ID Facebook, nama lengkap, lokasi, tanggal lahir, bios, dan dalam beberapa kasus ada alamat email.
Kebocoran juga mencakup pengguna dari 106 negara, termasuk lebih dari 32 juta di Amerika Serikat, 11 juta di Inggris, dan 6 juta di India. Data tersebut dibocorkan oleh pengguna di forum peretasan secara online.
Juru bicara Facebook mengatakan perusahaan media sosial itu tidak yakin memiliki visibilitas penuh yang perlu diberitahukan kepada pengguna. Mereka juga menjelaskan hal itu juga memperhitungkan bahwa pengguna tidak dapat memperbaiki masalahnya dan memutuskan untuk tidak memberi tahu pengguna.
Menurut perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu, informasi yang diambil tidak termasuk informasi keuangan, kesehatan atau kata sandi. Namun, data yang dikumpulkan dapat memberikan informasi berharga untuk peretasan atau penyalahgunaan lainnya. (lry)