Jakarta, Ditjen Aptika – Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, sebagai aturan turunan pelaksanaan UU Cipta Kerja di sektor komunikasi dan informatika. Dalam PP tersebut terdapat subsektor pos, telekomunikasi, penyiaran, serta sistem dan transaksi elektronik.
“PP 5/2021 telah ditetapkan sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. Dalam PP tersebut yang berkaitan dengan Ditjen Aptika ialah subsektor sistem dan transaksi elektronik,” jelas Direktur Tata Kelola Aptika Kemkominfo, Mariam Fatimah Barata saat Sosialisasi Peraturan Pelaksanaan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Komunikasi dan Informatika, kamis (25/03/2021).
Perkembangan teknologi digital, lanjutnya, saat ini mendorong timbulnya berbagai teknologi baru yang bertujuan memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas. Dengan hadirnya teknologi baru itu, maka PP 5/2021 akan mengatur perizinan berdasarkan risikonya, yakni risiko menengah rendah, risiko menengah tinggi, dan perizinan penunjang.
Pada risiko menengah rendah, Ditjen Aptika mengusulkan KBLI baru di tahun 2020 yang merupakan lampiran I PP 5/2021. Ada tiga KBLI yang diusulkan yaitu: KBLI 62014 (aktivitas pengembangan teknologi blockchain), KBLI 62015 (aktivitas pemograman berbasis kecerdasan artifisial), dan KBLI 62024 (aktivitas konsultasi dan perancangan IoT).
Pada tingkat itu diwajibkan pendaftaran melalui OSS dan akan diberikan NIB serta sertifikat standar (pemenuhan terhadap standar dilakukan melalui pernyataan kesesuain diri/self declaration). Sertifikat ini berlaku selama pelaku usaha menjalankan usahanya.
“Untuk daftar persyaratan dan kewajiban berusaha ada dalam lampiran II PP 5/2021. Selain itu akan selalu dilakukan pengawasan rutin dan insidental,” info Mariam.
Sedangkan untuk tingkat risiko menengah tinggi, akan diusulkan dua KBLI baru, yakni KBLI 62022 (aktivitas penyediaan identitas digital) dan KBLI 62023 (aktivitas penyediaan sertifikat/layanan elektronik). Menurutnya, perbedaan kewajiban dengan tingkat risiko menengah rendah ada pada pemenuhan sertifikat standar yang harus melalui proses verifikasi bukan hanya self declaration.
“Dalam penyelenggara sertifikat elektronik terdapat layanan tanda tangan elektronik (TTE), segel elektronik (e-Seal), preservasi TTE dan stempel elektronik, penanda waktu, pengiriman elektronik tercatat, dan otentikasi website,” urai Mariam lebih lanjut.
Lihat juga: Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) Induk
Terakhir terkait perizinan penunjang, pendafataran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat diatur melalui Permenkominfo 5/2020. Pendaftaran PSE ini diajukan oleh perseorangan, badan usaha berbadan hukum Indonesia, dan badan usaha yang didirikan menurut hukum negara lain tetapi memberikan layanan di Indonesia.
Mekanisme pendaftaran PSE lingkup privat dilakukan melalui OSS dengan memenuhi persyaratan yang diminta. Seperti gambaran sistem elektronik, keterangan lokasi pengelolaan/pemrosesan/penyimpanan sistem elektronik, serta menjamin dan melaksanakan kewajiban pemberian akses jika terjadi masalah.
“Setelah melengkapi semua itu PSE dapat mencetak TDPSE dengan SLA 1 x 24 jam. Verifikasi dilakukan sesudahnya oleh Kominfo terkait kebenaran informasi yang diberikan, sedangkan keamanan sistem informasinya akan dilakukan BSSN,” papar Mariam.
Terkait dengan transisi pelaksanaan standar saat ini sedang disusun RPM-nya. Perizinan berusaha KBLI usulan baru (blockhain, AI, IoT, PSrE dan identitas digital) akan dilakukan pendaftaran melalui OSS dengan standar yang akan ditentukan dalam RPM turunan PP 5/2021.
“Untuk perizinan penunjang, PSE Indonesia sudah bisa mendaftar melalui OSS eksisting yang terintegrasi dengan sistem layanan.kominfo.go.id,” pungkas Mariam.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kominfo, Mira Tayyiba mengharapkan hadirnya UU Cipta Kerja dapat memudahkan masyarakat untuk membuka usaha baru dengan dipangkasnya regulasi yang tumpang tindih.
“Dalam rangka melaksanakan amanat UU Cipta Kerja, Kominfo telah menyusun peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Pemerintah,” ungkapnya.
Lihat juga: Henri: UU Cipta Kerja Bawa Berkah bagi Bidang Kominfo
Dalam proses penyusunan PP dimaksud telah melakukan konsultasi publik melalui situs portal UU Cipta Kerja yang dilaksakanan dari tanggal 14 November 2020 sampai 5 Januari 2021. Hal itu guna memenuhi ketentuan pasal 96, UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Selain itu, telah diselenggarakan juga kegiatan serap aspirasi pada tanggal 2 Desember 2020 di Jakarta dan tanggal 7 desember 2020 di Bandung. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan K/L, asosiasi, akademisi, industri dan pelaku usaha terkait telah menghasilkan 116 masukan yang diakomodir dari total 381 masukan terkait bidang kominfo,” papar Mira.
Pemerintah sendiri telah mengundangkan 51 aturan pelaksana yang terdiri dari 47 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Terkait dengan Kemkominfo, telah ditetapkan 2 PP pelaksana, yakni PP 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran. (lry)