Jakarta, Ditjen Aptika – Sejumlah pasal dalam UU ITE memiliki celah multitafsir, pasal-pasal tersebut dinilai menghambat kebebasan berekspresi. Setidaknya, ada dua pasal yang selama ini menjadi perdebatan.
Pertama, pasal 27 ayat 3 yang menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kemudian, di pasal 28 ayat 2 yang menyebut bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok berdasarkan SARA. Kalimat terakhir tersebut yang dianggap multitafsir selama ini.
Wacana revisi Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Senin 15 Februari 2021 lalu di Istana Negara Jakarta, menguat dan mendapat dukungan serta apresiasi dari publik.
Dengan adanya revisi UU ITE, tidak hanya untuk mempertegas pasal karet yang sering menimbulkan multitafsir, tapi juga harus memberikan aturan jelas guna menjaga ruang digital Indonesia menjadi lebih bersih dan bisa dimanfaatkan secara lebih produktif.
Presiden meyakini kegaduhan yang terjadi belakangan ini karena semakin banyak masyarakat yang saling melapor. Imbasnya, proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan, meski memiliki semangat untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih sehat, beretika, dan produktif.
Presiden pun meminta Kapolri dan jajarannya untuk selektif dan hati-hati menindaklanjuti aduan pelanggaran UU ITE. Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE agar jelas dan Kapolri harus meningkatkan pengawasan agar implementasinya konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo tak menampik pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap digunakan untuk mengkriminalisasi. Kapolri meminta kepada seluruh penyidik agar lebih selektif edukasi dan persuasi.
“Kita upayakan langkah-langkah yang bersifat restorative justice dalam rangka untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet dalam UU ITE. Hal itu berpotensi digunakan untuk melaporkan atau saling melapor, sehingga lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan dengan UU ITE ini bisa ditekan dan dihindari ke depan,” kata dia melalui tayangan video dalam program Prime Talk Metro TV, Selasa (16/02/2021).
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarief Hieariej menyebut nantinya jika revisi UU ITE dilakukan, unsur pasal karet harus diperjelas. Pasalnya, selama diterapkan formulasi UU ITE sangat rancu dan menimbulkan multitafsir.
“Memang, formulasi yang ada di dalam Undang-Undang ITE itu campur baur antara delik aduan dan yang bukan delik aduan. Bayangkan ya, penghinaan di dalam KUHP itu diatur dari pasal 310 sampai pasal 321 itu ada 6 jenis penghinaan, di dalam UU ITE hanya dikasih satu kata saja yang namanya penghinaan atau pencemaran nama baik, sehingga benar kalau dikatakan itu adalah karet dan dikatakan itu adalah multitafsir,” ujarnya.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla pun menyambut baik rencana pemerintah yang ingin merevisi UU tersebut. JK menilai, respons Presiden Jokowi sudah tepat saat menyatakan rencana untuk mengubah UU ITE.
Lebih lanjut, JK meminta agar Pemerintah melakukan sosialisasi agar masyarakat memahami cara menyampaikan kritik yang tepat. Hal ini bertujuan agar warga juga tidak bertindak di luar koridor hukum ketika mengutarakan kritik.
Sebelumnya, Southeast Asian of Freedom Network (SafeNet) mencatat, sejak disahkan tahun 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait Undang-Undang ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah, yakni 110 tersangka dengan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan.
Untuk merespon wacana revisi UU ITE yang mengemuka belakangan ini apakah dapat menggantikan kegaduhan di masyarakat akibat saling lapor dan seperti apa kemudian pedoman baru kepolisian dalam penegakan hukum menggunakan UU yang telah direvisi dua kali sejak tahun 2016 itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate ikut merespon.
Dia mengatakan semangat dibentuknya UU ITE bertujuan guna menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Untuk itu, Pemerintah mendorong penegak hukum secara lebih selektif, terutama bagi lembaga hukum seperti Mahkamah Agung, Kepolisian Kejaksaan terkait dengan penafsiran Pasal UU ITE.
“Nah, penegakan hukum dengan pedoman pada acuan yang sama dengan di dalam judisial system, hakim juga mengacu kepada pedoman yang sama sehingga proses penegakan dan penindakan hukum itu, tidak saja Polri, jaksa, hakim, Kominfo juga untuk mengamankan ruang digital yang sehat karena ini tujuan semua dari kemaslahatan kehidupan masyarakat dan berbangsa,” ujarnya dalam diskusi.
Meski begitu, Menteri Johnny menyatakan ada aspek-aspek negatif dan dampak buruknya yang perlu diminimalisir. “Saya kira itu semangat yang ingin disampaikan bersama-sama, yang dikedepankan oleh Presiden Joko Widodo,” ucapnya.
Dua Paramenter Revisi
Terkait tudingan yang menyebutkan Presiden meminta Kapolri membuat pedoman dengan existing UU ITE yang ada saat ini, tapi implementasinya nanti tetap menimbulkan keadilan, maka perlu direvisi pernyataan Presiden itu. Menteri Johnny menyatakan bahwa ada dua hal yang harus masyarakat pahami dengan benar menyoal pesan Presiden.
“Yang pertama, UU ITE ini harus mampu menjaga ruang digital Indonesia agar bersih sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan manfaatkan secara produktif. Kedua, juga meminta agar pemerintah berpedoman bahwa dalam pelaksanaan Undang-Undang ITE tidak boleh justru menimbulkan rasa ketidakadilan dan ada dua parameter parameter yang pertama jaga ruang digital Indonesia agar bersih agar sehat agar beretika dan dimanfaatkan secara produktif,” paparnya.
“Presiden Jokowi juga meminta agar pemeintah berpedoman dalam pelaksanaan UU ITE tidak boleh justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Jadi, ada dua parameter di situ,” ungkapnya.
Dalam rangka melihat dua parameter tersebut, Menteri Johnny mengatakan Presiden Joko Widodo memberikan arahan kepada Kapolri, penegak hukum dan pemerintah dalam hal ini termasuk Kementerian Kominfo untuk mengambil langkah-langkah strategis.
“Agar menterjemahkan dan menginterpretasikan pasal-pasal yang dianggap karet, atau secara spesifik yang disebut tadi pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 yang juga sudah berkali-kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Menurut Menteri Kominfo, dua pasal yang telah diajukan beberapa kali namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi itu, saat ini perlu disiapkan pedoman interpretasi yang baku.
“Agar di dalam pelaksanaan UU ITE oleh aparat penegak hukum, baik aparat penegak hukum di ruang fisik dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan, maupun di ruang digital oleh Kominfo dapat dilakukan dengan baik dalam dua konteks itu,” jelasnya.
Apabila tidak dilakukan dengan baik, tidak mampu menyiapkan interpretasi sebagai pedoman, tidak mampu melaksanakan dan menjaga keadilan masyarakat, setelahnya diusulkan atau disampaikan oleh Presiden yang akan berkomunikasi dengan DPR dalam rangka proses politik untuk melakukan revisi.
“Tentu revisi pun dilakukan dalam dua konteks itu agar menjaga ruang digital yang sehat dan agar masyarakat pencari keadilan yaitu dilindungi. Jangan sampai kita lompat melangkah maju tanpa bahan Presiden itu untuk langsung ke revisi undang-undang. Sambil Presiden meminta agar dibuat pedoman intepretasi yang bisa diimplementasikan dengan baik di dalam tataran penegakan hukum,” terang Menkominfo.
Penting Sebagai Payung Hukum
Menkominfo menilai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini sangat penting mengingat Indonesia sekarang di dalam tahap akselerasi transformasi digital.
“Kita justeru di dalam tahap dimana pemanfaatan ruang digital yang semakin massif, sehingga kita membutuhkan payung hukum yang betul-betul kuat. Di sisi yang satu untuk pemanfaatan ruang digital untuk kemaslahatan rakyat, di sisi yang lain ruang digital dimanfaatkan agar tidak mengganggu kehidupan dan interaksi sosial masyarakat melalui hoaks, hate speech, fitnah, nyinyir, kebencian, itu harus dicegah,” paparnya.
Oleh karena itu, Menkominfo menyatakan saat ini pemerintah mempunyai beberapa rekomendasi guna mendukung upaya lembaga yudikatif serta kementerian/lembaga dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran.
Menurut Menteri Johnny, sebagaimana adanya implementasi UU ITE saat ini diantaranya yaitu tindakan penegakan hukum harus lebih selektif, kedepankan betul upaya-upaya melalui mediasi dan jalur-jalur damai. Ia menambahkan, juga perlu dilakukan secara besar-besaran melakukan kegiatan literasi hukum.
“Jangan sampai semuanya masuk ke proses hukum, tapi ada tahapan-tahapan selektif dan mediasi yang harus dilakukan. Aturan ini begitu diundangkan menjadi satu undang-undang, dianggap seluruh rakyat sudah mengerti, Nah, literasinya penting untuk kita lakukan dan ini harus dilakukan bersama-sama dengan melibatkan seluruh komponen bangsa termasuk aparat penegak hukum,” tegasnya.
Selain itu, rekomendasi implementasinya diperlukan untuk melakukan peningkatan pengawasan kinerja aparat penegakan hukum.
“Itu di sisi implementasi, di sisi rekomendasi substansinya tentu seperti yang Bapak Presiden sampaikan, kita harus mendukung kalau dibutuhkan untuk penafsiran-penafsirannya terhadap pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu, yang multitafsir untuk dibentuk satu model atau satu tafsir yang menjadi acuan bersama,” jelasnya.
Lebih lanjut, apabila dibutuhkan melakukan revisi, maka ada benchmark di banyak negara, antara lain ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hukuman badan dan kepidanaan. Bisa dibuat lebih seimbang dengan hukuman-hukuman keperdataan.
“Keseimbangan ini bisa diatur dan dibicarakan, tentu substansinya nanti akan di bahas lebih dalam apa saja substansi yang harus kita bicarakan, setidaknya rekomendasi yang terlihat saat ini seperti itu,” tandasnya.
Selain Menteri Kominfo, diskusi yang bertajuk “Urgensi Evaluasi dan Revisi UU ITE “dan telah dilihat 1.041 pemirsa melalui platform Youtube itu dihadiri Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto, Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi Golkar Dave Laksono, serta Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi. (hm.ys)