Jakarta, Ditjen Aptika – Kementerian Kominfo memiliki dua pendekatan mengatasi hoaks terkait Covid-19. Tercatat dalam seminggu terakhir telah ditemukenali 10 isu dengan 83 sebaran di berbagai media sosial.
“Pendekatan pertama melalui soft approach dengan memperkuat masyarakat lewat literasi digital agar tidak mudah percaya terhadap suatu informasi. Kedua melalui hard approach, bisa berupa pemblokiran hingga penegakan hukum,” jelas Koordinator Pengendalian Konten Internet, Ditjen Aptika, Kemkominfo, Anthonius Malau saat membacakan Keterangan Pers Hoaks Vaksin Minggu Ini (02/02/2021).
Lebih detail ia menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas SDM dan literasi digital bertujuan membekali masyarakat untuk mengetahui, membedakan, dan mengambil tindakan yang tepat dalam menangani hoaks.
“Selain itu kami juga berkolaborasi dengan penyedia platform media sosial untuk meminimalisir penyebaran hoaks melalui inovasi teknologi. Sementara langkah terakhir yang bisa dilakukan ialah dengan melakukan pemblokiran dan penegakan hukum,” jelasnya.
Lihat juga: Kominfo Telah Blokir 188 Hoaks Terkait Vaksinasi Covid-19
Kemkominfo telah memiliki Tim AIS Ditjen Aptika yang melakukan patroli siber selama 24 jam tanpa henti. Selain itu, Kemkominfo juga menerima aduan dari masyarakat serta bermitra dengan 28 kementerian atau lembaga dalam menentukan konten-konten yang melanggar aturan.
Dalam melakukan tugasnya memblokir konten hoaks di internet, Kemkominfo memiliki dasar hukum berupa UU 19/2016 tentang ITE, PP 71 tentang PSTE, dan Permen Kominfo 5/2020 tentang PSE lingkup privat.
“Tidak berhenti sampai di situ, kami juga membangun chatbot anti hoaks di Telegram, melakukan siaran pers, hingga kerja sama dengan penegak hukum,” tegas Anton.
Selain bekerjasama dengan platform media sosial, Kemkominfo juga bekerjasama dengan berbagai media, seperti majalah, koran, dan televisi. “Informasi di media mainstream merupakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, karena mereka telah melakukan serangkaian proses,” imbuhnya.
Munculnya hoaks ini menurutnya sejalan dengan tumbuhnya ruang digital yang bersifat borderless. Ruang digital juga bisa diakses oleh siapapun dan menyediakan fitur anonimitas yang mampu merahasiakan identitas penggunanya.
“Semua itu yang menciptakan potensi hoaks atau disinformasi atau missinformasi bahkan malinformasi yang sengaja diciptakan untuk menyesatkan,” tandasnya.
Anton juga meminta peran masyarakat untuk ikut serta dalam melawan hoaks. Ia meminta masyarakat untuk mewaspadai judul berita/informasi yang bersifat provokatif dan selalu memeriksa fakta.
“Marilah kita menjadi polisi di media sosial, jika informasinya meragukan silakan laporkan ke kanal-kanal yang tersedia,” pungkasnya. (lry)