Jakarta, Ditjen Aptika – Isu seputar dukungan Kementerian Kominfo terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pertumbuhan pasar asuransi di Indonesia mendominasi pemberitaan 24 jam terakhir. Isu meningkat usai ucapan Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan mengenai tingkat digitalisasi pada asuransi masih kalah dibandingkan dengan hal lain di sektor keuangan.
“Untuk itu, inovasi teknologi yang dihadirkan perusahaan insurance technologi (insurtech) dapat menggairahkan pasar asuransi dalam negeri. Sekarang kita tahu juga, saat ini presentase orang Indonesia terhadap asuransi itu masih kecil, artinya masih banyak peluang yang digarap dengan adanya alternatif ini,” ujar Semuel dalam jumpa pers virtual, Kamis (04/02/2021).
Semuel melanjutkan, melalui pemanfaatan teknologi itu diharapkan juga dapat membuat tingkat literasi masyarakat terhadap asuransi semakin meningkat yang dampaknya juga akan terasa bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
“Ini adalah satu inovasi yang perlu kami dorong. Ini juga memperkaya ekosistem pembangunan ekonomi digital Indonesia. Kita membutuhkan banyak ekosistem supaya ekonomi digital kita bisa lebih lengkap,” tuturnya.
Selain itu, Founder dan CEO PasarPolis Cleosent Randing mengatakan bahwa inovasi dalam pengembangan teknologi dapat menciptakan lebih banyak produk asuransi mikro dengan harga terjangkau yang dapat diakses secara mudah oleh berbagai lapisan masyarakat, terutama masyarakat prasejahtera.
“Kami di sini bagaimana ke depan asuransi bisa menggunakan teknologi untuk menghadirkan asuransi yang berbeda. Asuransi itu bagaimana ke depannya bisa 3M, yaitu mudah, murah, dan menyenangkan,” kata Cleosent.
Untuk mewujudkan misi itu, Cleosent mengatakan mereka mendapat dukungan institusi keuangan di bawah naungan World Bank, International Finance Corporation (IFC), yang fokus pada percepatan inklusi dan literasi keuangan di berbagai negara berkembang.
Dalam 2 Hari, Kominfo Temukan 6 Hoaks Covid-19
Informasi seputar temuan hoaks terkait Covid-19 juga masih mendominasi pemberitaan, Kementerian Kominfo menemukan enam hoaks seputar virus corona Covid-19 yang beredar di media sosial dalam dua hari terakhir. Enam hoaks tersebut beredar sejak 3 Februari hingga 4 Februari 2021.
Salah satu diantaranya klaim tentang Covid-19 muncul karena adanya tes rapid dan PCR. Dikutip dari Cekfakta.tempo.co, klaim bahwa virus Corona Covid-19 muncul karena adanya tes rapid dan tes PCR adalah keliru. Tes PCR dan rapid test adalah dua jenis tes yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi Covid-19.
Selain klaim tentang Covid-19 muncul karena adanya tes rapid dan PCR, terdapat beberapa hoaks lainnya. Berikut rangkumannya
- Perpanjangan PSBB Jawa dan Bali Sampai 28 Maret 2021
- Covid-19 Bukan Virus dan Tidak Menular
- Pasien Jalan Ngangkang seperti Penguin karena Anal Swab
- Rapid Test Dihapus di Seluruh Bandara dan Stasiun Kereta Mulai 1 Februari 2021
- Alat Test GeNose C-19 di Jual Online
Dewan Pers Dorong Pemerintah Bentuk Regulasi Bagi Media Sosial
Isu lainnya yang berkembang yakni mengenai dewan pers yang mendorong pemerintah bentuk regulasi bagi media sosial. Isu tersebut berhembus ketika Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengemukakan hal tersebut agar media sosial dan media massa dapat dibedakan.
“Kadang-kadang medsos itu dianggap karya jurnalistik, kadang-kadang dengan kasus kasus tertentu, terutama apabila menyangkut kasus hukum terhadap wartawan. Termasuk juga peristiwa di Km 50. Patokan kami ada dua syarat dia dianggap sebagai media massa itu pertama yang membuat itu wartawan bener, kedua akun itu adalah akun resmi, official, Facebook-nya siapa,” kata Hendry dalam diskusi bertajuk ‘Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos’, Kamis (04/02/2021).
Ia mengaku sering kali Dewan Pers diminta untuk menindaklanjuti laporan berita hoax yang ada di medsos. Namun, menurutnya, regulasi saat ini hanya dapat ditindaklanjuti oleh Kominfo, sehingga ia menilai perlunya ada regulasi terkait media sosial.
Lebih lanjut, Konsultan Ahli Hukum PWI Wina Armada juga mengusulkan agar pemerintah membentuk undang-undang yang mengatur media sosial. Sebab, ia menilai belum ada regulasi yang bisa membedakan media massa dan media sosial.
Ia menilai UU ITE masih ada kekurangan untuk menangani tindak pidana di media sosial. Selain itu, Putusan MK menolak permohonan yang diajukan MNC agar layanan over the top di internet tunduk ke UU Penyiaran, oleh karena itu ia mengusulkan agar ada UU terkait media sosial.