Jakarta, Ditjen Aptika – Sepanjang bulan Oktober 2020, Tim AIS Ditjen Aptika Kemkominfo telah menemukan 100 konten negatif terkait Pilkada 2020. Temuan tersebut sebagian besar terkait kampanye negatif.
“Dari 100 temuan yang ada, Bawaslu mengonfirmasikan 28 konten melanggar dan akan segera dilakukan pemblokiran,” terang Koordinator Pengendalian Konten Internet, Anthonius Malau saat Webinar Peningkatan Kapasitas Pengawas Pemilu dalam Pengawasan Media Sosial, Kamis (22/10/2020).
Menindaklanjuti peningkatan jumlah hoaks, disinformasi, maupun ujaran kebencian terkait Pilkada 2020, Kementerian Kominfo berkomitmen untuk terus meningkatkan pengawasan ruang digital.
“Sebagai bentuk komitmen Kemkominfo telah menandatangani Nota Kesepakatan Aksi bersama dengan KPU selaku penyelenggara Pemilu dan Bawaslu selaku pengawas Pemilu. Nota Kesepakatan Aksi tersebut tentang pengawasan internet dalam penyelenggaraan Pilkada 2020,” lanjut Anthonius.
Lihat juga: Kominfo, Bawaslu, dan KPU Sepakati Pengawasan Konten Internet di Pilkada 2020
Selain itu, Kemkominfo, KPU, dan Bawaslu juga membuat deklarasi Internet Indonesia Lawan Hoaks dalam Pilkada 2020 yang juga didukung oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan beberapa platform media sosial seperti Bigo, Facebook, Google, Twitter, Line, Telegram dan Tiktok.
“Kerja sama ketiga institusi ini diharapkan dapat mendukung pelaksanaan Pilkada yang bermartabat dan berkualitas menuju demokratisasi yang lebih baik,” tandasnya.
Kemkominfo melakukan crawling untuk menemukan konten-konten yang diduga melanggar aturan. Selanjutnya konten tersebut diteruskan pada KPU dan Bawaslu untuk memastikan telah terjadi pelanggaran.
“Jika mereka sudah menetapkan, kami akan meneruskan ke penyedia platform untuk pemblokiran. Dalam pengajuan pemblokiran tentu harus disertai alasan dan bukti yang kuat,” jelas Anthonius.
Adapun lingkup pengawasan konten internet dalam Pilkada 2020, diantaranya:
- Larangan dalam kampanye mempersoalkan Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Menghina (SARA) pasangan Calon Gubernur dan Calon Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, dan/atau partai politik;
- Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba;
- Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan;
- Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum;
- Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan; dan
- Melanggar peraturan perundangan di Indonesia.
“Kami tidak lupa meminta peran aktif masyarakat dalam penanganan konten negatif terkait Pilkada 2020 ini dengan melaporkan ke kanal-kanal yang sudah kami sediakan jika menemukan konten-konten tersebut,” ujar Anthonius.
Lihat juga: Jaga Kualitas Demokrasi, Menkominfo Ajak Masyarakat Tidak Kampanye Hoaks
Sementara itu Direktur Pengendalian Informasi, Investigasi, dan Forensik Digital BSSN, Bondan Widiawan menyatakan Pilkada 2020 akan banyak menggunakan teknologi informasi dalam kampanye sehingga berpotensi disalahgunakan untuk mendiseminasikan konten yang melawan hukum.
“Maraknya penggunaan media sosial merupakan salah satu indikator kerawanan dalam penyelenggaraan Pemilu. Ujaran kebencian semakin mudah dipakai untuk tujuan-tujuan politis karena penyebaran berita saat ini begitu deras,” ungkapnya.
Dalam mengatasi hal tersebut, ia menjabarkan ada tiga upaya yang dapat dilakukan. Upaya pertama melalui literasi kepada masyarakat, dan kedua melalui verifikasi cepat untuk memastikan kebenaran informasi dari berbagai sumber.
“Selanjutnya ketiga, dengan melakukan penindakan oleh aparat penegak hukum kepada pihak-pihak yang melanggar,” tegasnya.
Ia mengingatkan kepada masyarakat bahwa jejak digital bersifat permanen dan tidak bisa hilang, sehingga perlu kebijaksanaan dalam memposting sesuatu di ruang digital. “Mari unggah hal positif di ruang digital, tidak mengumbar data pribadi, dan pahami circle ketika berinteraksi di ruang digital,” pungkas Bondan. (lry)