Jakarta, Ditjen Aptika – Selama pandemi ini banyak kegiatan bergeser dari ruang fisik ke ruang digital. Namun masyarakat harus menyadari norma di ruang digital tidak berbeda dengan ruang fisik.
“Pergeseran itu mengakibatkan konflik-konflik di ruang fisik ikut berpindah ke ruang digital. Namun belum semua masyarakat menyadari, norma yang berlaku di ruang fisik berlaku juga di ruang digital,” jelas Sub Koordinator Penyusunan Rancangan Peraturan, Setditjen Aptika Kemkominfo, Denden Imadudin Soleh, saat acara Webinar Nasional Bahasa dan Hukum, Kamis (15/10/2020).
Apabila di ruang fisik tidak boleh menghina seseorang, contoh Denden, maka di ruang digital juga sama. Perbedaaannya, jika di ruang fisik orang akan sungkan melakukan secara langsung, di ruang digital seseorang merasa seolah tidak ada yang melihat.
“Padahal di ruang digital akan lebih banyak orang yang bisa melihat apa yang kita lakukan,” tandasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, jika di ruang fisik ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU lainnya. Di ruang digital juga ada aturan yang mengatur, yaitu UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“UU ITE tidak hanya mengatur perbuatan yang dilarang, tapi juga mengatur bagaimana pemanfaatan TIK untuk kepentingan bisnis, pendidikan, dan pemerintahan,” jelasnya.
Lihat juga: UU ITE Menjerat Ujaran Kebencian Berdasarkan SARA
Perbandingan Aturan di Ruang Digital dan Ruang Fisik
Denden yang juga sering menjadi saksi ahli UU ITE tersebut kemudian membandingkan satu-persatu aturan yang ada di ruang digital dengan ruang fisik. Contohnya pada Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang muatan kesusilaan yang ada pada ruang digital, di ruang fisik juga diatur dalam UU Pornografi.
“Mengenai konten kesusilaan jika bentuknya foto dan video bisa dinilai dengan jelas, tapi ada juga konten berupa teks. Konten berupa teks ini diperukan saksi ahli bahasa untuk menilai konteks konten tersebut,” terangnya.
Untuk Pasal 27 ayat 2 UU ITE mengenai perjudian daring, juga diatur dalam Pasal 303 ayat 1 KUHP. Sedangkan ayat 3-nya tentang penghinaan dan pencemaran nama baik juga diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
“Pasal 27 ayat 3 pernah dilakukan uji materil oleh MK, dimana dalam putusannya memutuskan pasal tersebut tidak boleh lepas dalam pasal 310 dan 311 KUHP dalam penerapannya,” paparnya.
Sedangkan pada Pasal 27 ayat 4 tentang pemerasan dan pengancaman juga penerapannya mengacu pada Pasal 368 dan 369 KUHP. Jadi ancaman kekerasan dan membuka rahasia yang bisa ditindak ialah kasus dengan motif ekonomi.
Lihat juga: Pasal 27 UU ITE Bukan untuk Membelenggu Kebebasan Berekspresi
Senada dengan Denden, Kasubbid Penmas Polda Sultra Kompol, Agus Mulyadi, juga berpendapat seiring dengan perkembangan teknologi informasi, aktivitas penyampaian pesan melalui media sosial begerak begitu deras. Oleh karenanya marak kasus ujaran kebencian berawal dari media sosial.
“Ujaran kebencian yang dimaksud bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu atau kelompok masyarakat. Biasanya ujaran kebencian menyasar pada suku, agama, warna kulit, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual,” tuturnya.
Bentuk dari ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, dan menyebarkan berita bohong.
“Untuk mengatasi masalah tersebut, kepolisian akan terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan Kemkominfo dalam penanganan konflik yang muncul di ruang digital,” tutupnya. (lry)