Jakarta, Ditjen Aptika – RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP) telah melewati Pembicaraan Tingkat I dan masuk ke tahap Pembicaraan Tingkat II. Setelah itu, RUU PDP dapat diundangkan sebagai landasan hukum bagi masyarakat Indonesia dalam melindungi data pribadinya.
“Kami sudah selesai melakukan RDP bersama berbagai stakeholders baik itu masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku usaha. Kami berharap sebelum akhir tahun ini kita sudah memiliki UU PDP,” ujar Anggota Komisi I DPR RI, Charles Honoris dalam seminar daring ‘Siberkreasi Menjaga Keamanan Data Pribadi di Masa Adaptasi Kebiasaan Baru’, Sabtu (05/09/2020).
Agenda selanjutnya adalah melanjutkan pembahasan RUU PDP agar dapat segera diselesaikan. “Kami sudah menyerahkan DIM (Daftar Inventaris Masalah) Fraksi dan sudah berlanjut ke Pembicaraan Tingkat II,” tambah Charles.
Charles menyebut banyak pihak telah terlibat dalam pembahasan RUU PDP ini. Misalnya akademisi, PERSI, AFTECH, iDea, kantor perwakilan US-ASEAN Business Council, ATSI, APJII, Kemkominfo, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Sejak adanya pandemi, masyarakat lebih aktif di ruang digital dan sempat terjadi beberapa kejahatan yang menyerang data pribadi masyarakat. “Sehingga RUU PDP sangat penting untuk segera diundangkan dan menjadi landasan hukum bagi masyarakat Indonesia,” katanya.
Lihat Juga: Telah Bentuk Panja, Komisi I DPR dan Pemerintah Segera Bahas RUU PDP
Charles juga memberikan sejumlah tips yang dapat dilakukan masyarakat untuk melindungi data pribadinya, yaitu:
- Tidak sembarangan mengunduh aplikasi;
- Pelajari term and condition bahwa aplikasi tersebut perlu mengakses apa saja terkait data pribadi yang dimiliki;
- Mengganti password secara berkala;
- Tidak membuka surel dari link sembarangan; dan
- Tidak memberikan informasi data pribadi yang bersifat spesifik dengan mudah kepada orang lain.
Data Pribadi yang diperlukan Pelaku Usaha
Praktisi Literasi Digital, Tony Seno Hartono mengatakan bahwa pelaku usaha perlu memperhatikan lebih lanjut terkait data apa saja yang diperlukan, sehingga dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan data pribadi.
Ia menjelaskan dalam RUU PDP terdapat dua klasifikasi, yaitu khusus dan umum. Pelaku usaha pada dasarnya hanya memerlukan data pribadi yang bersifat umum, seperti nama, alamat, surel, dan kontak.
“KTP hanya untuk pelaku usaha atau penyedia layanan terkait bidang kesehatan. Biometrik dapat digunakan pelaku usaha bidang keuangan sebagai fitur tambahan ketika pelanggan mengalami lupa password. Data-data ini masuk dalam klasifikasi khusus,” katanya.
Keuntungan bagi pelaku usaha apabila Indonesia telah memiliki UU PDP, yaitu:
- Memenuhi regulasi;
- Mencegah kebocoran data yang merugikan usaha dan pelanggan;
- Meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pelanggan;
- Meningkatkan daya saing dan nilai merek dagang; dan
- Mendukung inovasi.
“Pembatasan hak untuk dilupakan (right to be forgotten) seperti situasi pandemi ini bahwa data rekam medis masyarakat Indonesia tidak boleh dihapus, pemrosesan data agregat tidak dibatasi, dan akurasi serta verifikasi data adalah tanggung jawab pemilik data bukan pengendali data,” ucapnya.
Lihat Juga: UU PDP akan Pastikan Kedaulatan Negara terhadap Data
Baginya, RUU PDP ini bisa meningkatkan perhatian pelaku usaha untuk melindungi data pelanggan serta reputasi usahanya. “Akan lebih baik lagi apabila regulasi ini sudah bisa diundangkan sebagai payung hukum data pribadi masyarakat Indonesia,” tutup Tony. (pag)