Jakarta, Ditjen Aptika – Penggunaan aplikasi kesehatan meningkat tajam saat pandemi Covid-19 dan berlakunya era normal baru. Namun penyelenggara sistem harus siap mengantisipasi keamanan data dan aplikasi.
“Sesuai Pasal 15 UU ITE, tanggung jawab pengamanan data ada di pihak platform atau aplikasi sebagai penyelenggara sistem elektronik,” ujar Staf Ahli Menkominfo, Henri Subiakto, saat Airlangga Webinar Conference Series bertema Disruptive Medical Technology After Covid-19, Jum’at (19/06/2020).
Bila terjadi kebocoran atau penyalahgunaan data, lanjut Henri, itu menjadi tanggung jawab penyelenggara aplikasi. Pemerintah atau negara hanya mengawasi saja. “Selanjutnya di PP 71/2019 (PSTE) baru dioperasionalkan. Misalnya penggunaan blockchain agar sistem lebih aman dan andal,” urai Henri.
Menurut Henri, sinergi Covid-19 dan teknologi telah mengubah pola pikir dan kultur. Maka muncullah era new normal, next normal, work from home, hingga work from anywhere. Walaupun diakui pemanfaatan teknologi di bidang kedokteran masih terbatas.
“Bulan April lalu terjadi peningkatan pesat pengguna aplikasi telemedicine, dari 4 juta menjadi 15 juta. Namun itu masih bersifat konsultasi dan pengobatan ringan, belum ke tindakan seperti operasi,” ungkap Henri.
Lihat Juga: Digitalisasi Pelayanan Kesehatan dengan Penerapan Revolusi Industri 4.0
Sementara itu pembicara dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Herkutanto menyampaikan kendala regulasi Permenkes Nomor 20/2019 tentang Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes). Permenkes itu hanya mengatur antar Fasyankes, bukan layanan dokter kepada pasien.
“Platform kesehatan (seperti Halodoc, AloDokter, dan Klikdokter) boleh melakukan penyuluhan dan konsultasi kesehatan, asalkan tanpa hubungan dokter pasien. Selain itu, platform juga tidak boleh melakukan pelayanan medis dan mengelola rekam medis,” terangnya dibantu tampilan slide.
Herkutanto juga menyampaikan adanya kesenjangan data klinis antara pemeriksaan secara langsung dan daring. Hal itu dapat menyebabkan kesalahan penatalaksanaan pasien. “Regulasi akan berperan memperkecil kesenjangan tersebut. Faktor penentunya (determinan) adalah teknologi, perangkat konsumen, data-data digital, dan analisis big data,” urainya.
Kepemilikan data-data raksasa tersebut juga masih dipertanyakan. Apalagi jika big data itu dimiliki pihak-pihak di luar Indonesia. “Saat pandemi Covid-19 ini permintaan kerja sama data sangat meningkat. Jangan sampai tidak ada benefit sharing atas data-data tersebut bagi kita,” pungkasnya.
Acara webinar tersebut dimoderatori oleh David S. Perdanakusuma dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan dihadiri kalangan akademisi, antara lain I Ketut Eddy Purnama dari ITS dan Budi Wiweko dari FKUI. (mhk)