Jakarta, Ditjen Aptika – Talenta digital merupakan faktor penting selain infrastruktur yang tidak dapat dipisahkan dalam transformasi digital. Pemerintah membuka sejumlah program untuk menyiapkan talenta digital tersebut.
“Pemerintah punya banyak program untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap menjadi talenta digital. Dari Kementerian Kominfo ada program Digital Talent Scholarship (DTS) yang merupakan program beasiswa pelatihan intensif dengan berbagai tema (seperti big data, artificial intelligence, coding) yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing SDM bidang TIK,” jelas Staff Khusus Bidang Kebijakan Digital dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kominfo, Dedi Permadi, saat siaran langsung acara Siberkreasi Hangout Online dengan tema From Offline to Online di kanal Youtube Siberkreasi, Kamis (16/04/2020).
Selain DTS, Dedi juga menyebutkan bahwa Kemendikbud saat ini juga memiliki program pembelajaran daring. Serta program yang baru diluncurkan oleh Kemenko Perekonomian, yaitu kartu prakerja sebagai bantuan biaya pelatihan bagi masyarakat untuk memiliki atau meningkatkan keterampilan.
Sebelum menjelaskan lebih jauh, Dedi menjelaskan apa itu sebenarnya talenta digital. “Tidak ada definisi baku dari talenta digital, tapi dapat ditarik kesimpulan bahwa talenta digital merupakan perkawinan antara hardskills dan softskills,” ucap Dedi.
Hardskills dalam konteks digital sendiri merupakan kemampuan teknis yang meliputi big data, artificial intelligence, coding dan lainnya. Sedangkan softskills ialah kemampuan 4C, yaitu Complex problem solving, Critical thinking, Creativity, dan Capability to lead.
Oleh sebab itu pemerintah terus berupaya mengadakan pelatihan-pelatihan demi membentuk talenta-talenta digital yang akan memiliki sertfikasi keahlian digital nantinya.
Dedi kemudian menjelaskan bahwa sertifikasi keahlian digital saat ini tidak kalah penting dibanding ijazah. Dirinya mencontohkan beberapa perusahaan global seperti IDM, Google, dan Cisco telah menggunakan persyaratan non ijazah untuk mendaftar kerja.
“Ada beberapa lulusan DTS sudah diterima di perusahaan-perusahaan global, bahkan di Google sudah 15% pegawainya tidak memiliki ijazah perkuliahan tapi memiliki sertifikasi keahlian digital. Oleh sebab itu harus jadi pemahaman baru di bidang pendidikan, kita harus melompat cara berpikirnya, karena saat ini kita menghadapi era baru,” terang Dedi.
Pada era digital tentu akan ada banyak bidang ilmu yang muncul dan memiliki peluang baru. Sampai tahun 2030 Indonesia akan membutuhkan 9 juta talenta digital, yang berarti dibutuhkan sekitar 600 ribu setiap tahunnya.
Sebuah penelitian IMF juga menyebutkan akan ada 2 juta posisi pekerjaan yang harus tergantikan dengan posisi bidang digital dan ada 9,5 juta pekerjaan yang terdampak oleh kecerdasan buatan.
“Data tersebut maksudnya ada peluang-peluang ilmu baru yang tersedia, tapi belum banyak diketahui masyarakat. Demand-nya banyak namun supply-nya kurang,” tegas Dedi.
Untuk itu Dedi mendorong generasi-generasi penerus bangsa agar memahami peluang besar yang ada di era digital ini, supaya startup-startup Indonesia tidak perlu lagi mencari talenta digital ke luar negeri.
Pada akhir penjelasan Dedi membahas mengenai kondisi yang saat ini dialami Indonesia. Tidak dapat dipungkiri masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan untuk melakukan physical distancing memaksa masyarakat untuk dapat bertransformasi digital (from offline to online) secara cepat.
“Pemerintah sedang mengupayakan layanan terbaik bagi masyarakat untuk mengakomodir adanya kelas-kelas online. Pemerintah juga telah berbicara dengan perusahaan-perusahaan telko di Indonesia untuk memberikan subsidi dan menawarkan paket-paket khusus selama masa pandemi Covid-19,” pungkas Dedi.
Selain Dedi Permadi, turut hadir dalam acara tersebut Head of Public Policy Google Indonesia (Putri Alam), CEO Decoding (Narendra Wicaksono), serta Wakil Ketua Umum Siberkreasi (Mira Sahid). (lry)