Jakarta, Ditjen Aptika – Program transformasi digital pelaku UMKM gencar dilakukan. Bagaimana perkembangan serta dampaknya bagi para pedagang pasar?
Demi menjawab pertanyaan tersebut, tim dari Setditjen Aptika mendatangi sejumlah pasar di Kota Surabaya, Sabtu (24/8/2019). Setidaknya ada tiga pasar yang disambangi, yaitu Darmo Trade Center (DTC), Pasar Wonokromo, dan Pasar Jembatan Merah.
Menurut Manajer Pemasaran DTC, Yosef Tony Praduka, pihaknya mendukung penuh digitalisasi para pedagang pasar. Termasuk program UMKM Go Online dari Kementerian Kominfo. Sejumlah marketplace pun telah diundang untuk melakukan pendampingan dan pelatihan.
“Sudah tiga tahun ini dilakukan, dimulai dari Lazada sejak 2016. Lalu masuk BukaLapak, Go-Food, dan Ovo untuk pembayaran digital. Bahkan boleh dibilang, 100% pedagang makanan sudah bisa dipesan online,” ujarnya.
Yosef mengaku tidak khawatir penjualan daring akan menggerus pendapatan toko-toko fisik. Mengambil contoh pedagang kuliner, omzet mereka justru meningkat setelah melayani pembelian lewat Go-Food. Kepemilikan toko fisik juga meningkatkan kepercayaan pembeli di ranah digital.
“Masalahnya para pedagang seringkali merasa cukup hanya berjualan di pasar. Perlu dibangkitkan kesadaran ‘go online‘ secara kolektif, misalnya lewat paguyuban atau komunitas. Bila dihitung keseluruhan pedagang, baru 10% yang aktif berjualan online,” ungkapnya.
Kisah sukses juga diraih oleh toko pakaian Cecilia Collection di Lantai 2 DTC. Penjaga toko, Nila (26), mengaku terjadi kenaikan penjualan setelah berjualan daring.
“Sekitar 30% omzet berasal dari online. Prosesnya juga mudah, di awal-awal kami mendapat pendampingan dari Lazada. Perangkat yang digunakan hanya handphone biasa. Sinyal seluler tidak ada masalah,” ujarnya.
Namun sejumlah kendala dihadapi pedagang lain yang mencoba masuk di dunia maya. Misalnya Anis Nurlany (55), pemilik toko Fidhia Collections di DTC Lantai 3. Ia merasa sulit bersaing akibat para produsen juga ikut berjualan secara langsung.
“Harga mereka tentu lebih murah. Seharusnya ada aturan khusus yang membatasi hal tersebut. Selain itu, perputaran uang di online juga lebih lambat. Padahal bagi para pedagang, perputaran modal itu sangat berpengaruh,” jelasnya.
Sedangkan pedagang di Pasar Wonokromo mengaku lebih senang berjualan konvensional karena perputaran barang lebih cepat. Mereka juga sempat mengikuti acara Grebeg Pasar yang diadakan Kominfo bulan Juli lalu.
“Kami hampir setiap hari memasukan barang ke lapak online, tapi masih relatif sepi. Pembeli lebih suka datang langsung ke toko,” kata Dida (36), penjaga toko Style Bandung Jeans. Meskipun begitu, secara omzet terjadi kenaikan hingga 30% setelah mulai berjualan daring.
Sementara Manajer Pemasaran Pasar Jembatan Merah, Affan, mengungkapkan alasan lain para pedagang enggan masuk ke bisnis daring. Selain akibat susahnya sinyal sehingga transaksi terkendala, juga kurangnya rasa percaya pada pengelola marketplace.
“Mereka khawatir data-data mereka disalahgunakan. Seperti jenis barang, harga barang, nama dan lokasi pembeli. Takutnya dari data-data yang terkumpul tadi, akan berdampak turunnya perdagangan di pasar ini,” papar Affan.
Di tempat terpisah pelaksana Program UMKM Go Online, Puti Adella menjelaskan, Kementerian Kominfo secara masif mendigitalisasi para UMKM di pasar-pasar melalui kegiatan grebeg pasar. Kegiatan ini dimulai sejak Februari 2019 lalu dan berlangsung di 26 kabupaten/kota.
“Kami terus turun ke pasar-pasar, salah satunya di Kota Surabaya pada bulan Juni – Juli lalu. Kami menggandeng sejumlah marketplace dan pengelola pasar setempat, serta dibantu relawan Pandu Digital. Program ini akan terus berjalan sesuai target kami delapan juta UMKM siap online,” pungkasnya. (mhk/lry)