Jakarta, Ditjen Aptika – Netralitas, inklusivitas, toleransi, akuntabilitas dan asas demi kesejahteraan bersama adalah agenda diplomasi Indonesia di dunia siber. Hal ini karena Indonesia belum berdaulat dalam dunia siber dan data.
Perdebatan mengenai Kedaulatan Siber (Cyber Sovereignty) telah berlangsung lama, khususnya pada satu hingga dua dekade terakhir, baik pada tataran diplomasi internasional, diantara ahli hukum internasional, akademisi, peneliti, dan para praktisi.
“Salah satu alasannya adalah saat ini resource masih manual dan belum adanya satu instrumen hukum yang dapat dijadikan pedoman,” ungkap Hendri Sasmita Yudha, perwakilan Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo pada Diskusi MASTEL Kedaulatan Siber dan Data di Jakarta, Senin (22/07/19).
“Sebagai wujud inisiasi pemerintah untuk Indonesia berdaulat dalam dunia siber, salah satunya dengan keluarnya PM Kominfo Nomor 20 tahun 2016 yang sudah bisa diterapkan. Selain itu pemerintah juga sedang dalam proses RUU PDP agar menjadi instrumen hukum yang konkret,” lanjut Hendri.
Menurut Kristiono, Ketua Umum MASTEL, agenda diplomasi tersebut juga timbul dari sebuah gagasan mengenai perbedaan pandangan tentang kepemilikan dan penguasaan data. “Imperialisme dalam era digital terjadi karena pemahaman mengenai penguasaan data terjadi. Inilah yang menyebabkan penyalahgunaan data pribadi, penipuan, bahkan peretasan akun,” ujar Kristiono.
Sedangkan Onno W. Purbo, Dewan Pengurus Harian MASTEL mengatakan, “Hal ini terjadi karena kita tidak berada pada playing field atau tujuan yang sama. Sebelum regulasi, agenda diplomasi, dan tindakan lainnya, kita harus memiliki kesadaran terlebih dahulu.”
Ditegaskan oleh Onno, “Ini adalah kunci awal bagaimana kita dapat berdaulat dalam dunia siber dan data.” (pag)