Jakarta, Ditjen Aptika – Kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia online (KtP Cyber) mulai didokumentasikan di tahun 2016, sejak berlakunya Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Berdasarkan Pasal 1 Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, KtP didefinisikan sebagai sebuah tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, psikologis dan seksual. Hal tersebut termasuk ancaman, paksaan, serta pembatasan kebebasan, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi,” jelas Sri Safitri, Vice Chairwoman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) pada acara FGD Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Sosial Media, di Hotel Aone Jakarta, Selasa (19/03/2019).
Sri kemudian menjelaskan, setidaknya ada delapan jenis KtP Cyber, yaitu:
- Cyber Hacking
Penggunaan teknologi secara ilegal untuk mengakses suatu sistem dengan tujuan mendapatkan informasi pribadi, mengubah suatu informasi, atau merusak reputasi korban;
- Impersonation
Penggunaan teknologi untuk mengambil identitas orang lain dengan tujuan mengakses informasi pribadi, mempermalukan korban, menghubungi korban atau membuat dokumen palsu; - Cyber Surveillance/Stalking/Tracking
Penggunaan teknologi untuk menguntit yang dilakukan dengan pengamatan langsung atau pengusutan jejak korban; - Malicious Distribution
Teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan terlepas dari kebenarannya; - Cyber Recruitment
Penggunaan teknologi untuk menghubungi, mengganggu, mengancam atau menakut-nakuti korban; - Morphing
Pengubahan suatu gambar atau video dengan tujuan merusak reputasi orang yang berada di dalam gambar atau video tersebut; - Sexting
Pengiriman gambar atau video pornografi kepada korban - Revenge Porn
Bentuk khusus malicious distribution yang dilakukan dengan menggunakan konten-konten pornografi korban atas dasar balas dendam.
Kekerasan terhadap perempuan ini tentu menimbulkan dampak negatif terhadap korbannya, mulai dari dampak fisik seperti serangan ke tubuh korban yang mengakibatkan luka ringan, luka parah, disfungsi bagian tubuh dan bahkan kematian. Kemudian ada pula dampak psikologis berupa trauma yang dapat mengganggu kejiwaan korban.
Tidak berhenti pada dampak fisik dan psikologis saja, kekerasan terhadap perempuan ini juga dapat menimbulkan dampak sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial korban pasca terjadi kekerasan. Kemudian yang terakhir ada pula dampak ekonomi, dimana korban harus mengeluarkan biaya untuk pengobatan fisik dan psikologis akan kejadian yang menimpa mereka.
Untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di dunia online, Sri Safitri memberikan tips kepada para peserta, seperti:
- Peningkatan pemahaman teknologi/internet/media sosial (apps, wearable, tracking, hotline) sebagai media yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah serta melaporkan kekerasan perempuan;
- Edukasi sejak dini kepada perempuan tentang hak dan kewajiban didalam setiap aspek kehidupan (hukum, sosial, politik, budaya dan lainnya);
- Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan;
- Melaporkan kepada yang berwajib jika terjadi kekerasan terhadap perempuan;
- Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan;
- Mendorong Pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang pro terhadap perempuan dan tidak diskriminatif;
- Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan secara masif melalui media online/offline.
Acara Focuss Group Discussion Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Sosial Media ini diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Kominfo dengan Kementerian PPA, Polri, serta multi stakeholder. Turut hadir Direktur Tata Kelola Aptika Kominfo Mariam F Barata, perwakilan Komnas Anti Kekerasan Perempuan Indriyati Suparno, perwakilan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Rita Wulandari, serta Sub Divisi KGBO Safenet Ellen Kusuma. (lry)
Galery Foto FGD Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan di Sosial Media: