Jakarta, Ditjen Aptika – Dakwah sudah menyebar di forum-forum dunia maya, aplikasi media sosial dan juga website. Para pendakwah harus mampu mengidentifikasi serta menyaring informasi yang diterima sebelum diteruskan kepada umat.
“Pendakwah atau dai muda milenial harus bisa menjadi “digital influencer” terutama di bidang keagamaan, dengan memiliki kemampuan untuk dapat membedakan sebuah informasi apakah itu termasuk berita palsu atau bukan sebelum diteruskan lagi, terutama terkait isu-isu atau konten yang berkaitan dengan sosial politik, ideologi dan SARA,” kata Aris Kurniawan, Kasubdit Literasi Digital Kementerian Kominfo saat kegiatan Pelatihan Dai Muda Digital di Kota Malang, Kamis (28/02/2019).
Lanjut Aris, semakin banyaknya konten-konten positif yang disajikan atau disampaikan kepada masyarakat merupakan sebuah alternatif lain untuk menekan serbuan konten negatif yang juga terus menyebar di era keterbukaan informasi ini. Apalagi Dai yang diangap sebagai panutan di tengah masyarakat, dianggap bisa mempercepat proses edukasi dan literasi digital masyarakat.
“Kominfo percaya bahwa dengan memperbanyak konten positif yang dibuat oleh Dai muda digital di era milenial saat ini, sama pentingnya dengan tugas pemerintah dalam memblokir konten negatif. Sehingga diharapkan dapat menampilkan wajah Islam yang ramah dan rahmatan lil alamin, bukan yang marah dan anti kebhinekaan,” ujar Aris.
Sampai dengan Januari 2019 menurut survei Hootsuite pengguna internet di Indonesia mencapai 56% atau 150 juta dari 268 juta penduduk Indonesia. Dengan jumlah umat yang melek internet semakin besar maka para dai harus dibekali kemampuan agar dapat terhindar dari dampak hoaks atau informasi palsu yang ada serta membantu membuka wawasan umat terkait sikap bijak bermedia sosial.
Disampaikan juga oleh Denden Imadudin, Kasubbag Penyusunan Rancangan Peraturan Kementerian Kominfo, bahwa Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) atau UU Nomor 11 Tahun 2018 telah dilakukan perubahan menjadi UU No 19 Tahun 2016. Dai muda harus memahami UU ITE dalam pemanfaatan TIK, bukan hanya untuk menjaga diri sendiri tapi juga agar mampu meliterasi masyarakat tentang UU ITE.
“UU ITE sesungguhnya dibuat dan disusun untuk dapat melindungi hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara. Sayangnya beberapa stigma yang belakangan ini muncul, bahwa UU ITE dianggap mengkriminalisasi ulama. Itu salah. Dalam berbagai kesempatan, Kementerian Kominfo menjadi tenaga ahli dalam persidangan-persidangan dai yang terjerat kasus UU ITE, dengan harapan bahwa dengan penjelasan dari kami dapat memberikan pemahaman kepada hakim dan jaksa gambaran utuh tentang UU ITE,” kata Denden dalam rangkaian kegiatan Pelatihan Dai Muda Digital di Kota Malang, Rabu (27/02/2019).
Pelatihan Dai Muda Digital yang dihadiri oleh 20 dai muda digital terpilih berjalan selama tiga hari, dimulai tanggal 26-28 Februari 2019 di Ubud Hotel & Cottages Malang. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Yayasan Tifa dan Subdit Literasi Digital kementerian Kominfo, dengan mengambil tema “Positive and Peace Cyber Activism“. Mengingat pentingnya tujuan dari Kegiatan ini maka rencananya kegiatan serupa akan di replikasi di seluruh Indonesia mulai minggu ke 4 bulan Maret 2019. (hel)