Jakarta, Ditjen Aptika – Kementerian Kominfo memasukkan usulan dari organisasi, termasuk Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dalam revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Revisi itu memuat siapa yang wajib mendaftar terkait penyelenggaraan sistem elektronik untuk publik.
“Ini penting sekali karena masyarakat sudah melakukan transaksi elektronik, tapi, belum ada pedoman yang jelas,” kata Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, saat jumpa pers di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Melalu revisi terbaru, peraturan tersebut merinci siapa saja yang wajib mendaftar, yaitu terutama mereka yang memiliki layanan yang bersifat ekonomis, salah satunya perdagangan. Aturan ini berlaku bagi perdagangan yang berasal dari luar Indonesia untuk keperluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Revisi PP 82 juga memuat denda untuk penyedia platform meda sosial yang memuat konten yang tidak sesuai dengan peraturan di Indonesia, Semuel memperkirakan denda akan mencapai miliaran rupiah. “Dendanya akan dikenakan per konten. Kami masih kalkulasikan,” katanya.
Sementara Asisten Deputi Koordinasi Telekomunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam, Sigit Priyono, mengatakan sebaiknya penetapan RPP 82 bisa ditetapkan usai bulan April.
“Kebetulan saatnya April nanti sepertinya terburu-buru, substansinya bisa jadi bahan-bahan yang tidak menguntungkan berbagai pihak,” kata Sigit. Pengesahan RPP ini bisa menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi dicap sebagai ‘pro asing’.
Sebabnya, revisi tersebut memperbolehkan penempatan data warga Indonesia di luar Indonesia, seperti data dari penyedia layanan media sosial. Padahal PP PSTE yang berlaku sekarang mewajibkan seluruh data terkait penduduk Indonesia ditempatkan di dalam negeri.
Revisi PP PTSE sejak akhir 2018 lalu menuai perdebatan dari Mastel dan asosiasi penyedia jasa data center. Mereka tidak setuju mengenai aturan tentang lokasi data center yang dianggap akan merugikan ekosistem digital di Indonesia. (mhk/ant)