Jakarta, Ditjen Aptika – Isu mengenai dugaan kebocoran data pribadi pada aplikasi PeduliLindungi juga masih mewarnai pemberitaan dalam 24 jam terakhir. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate kembali menegaskan bahwa data pribadi pengguna aplikasi PeduliLindungi tidak bocor.
“Tidak terjadi kebocoran data di PeduliLindungi, dan data-data yang ada di dalam platform tersebut berada di Indonesia, bukan diletakkan di luar negeri. Data-datanya berada di cloud di dalam negeri, baik di cloud Kominfo maupun di cloud mitra Kementerian Kesehatan yang menangani PeduliLindingi,” kata Johnny saat rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI, Rabu (22/9), mengutip Antara.
Johnny menyebut pemberitaan soal data pribadi sejumlah tokoh nasional yang diklaim berasal dari PeduliLindungi bukan disebabkan pengambilan paksa dari aplikasi tersebut, namun karena penggunaan data pribadi yang sudah menjadi domain publik secara tanpa hak. Aksi seperti itu dinilai ilegal sehingga perlu diselesaikan secara hukum.
“Ini masalahnya adalah tindakan-tindakan kriminal atau tindakan yang tidak sesuai aturan, ilegal terhadap data pribadi masyarakat oleh oknum-oknum yang perlu mendapat penegakan hukum di ruang fisik. Kalau ini dibiarkan, maka semua pejabat publik yang diamanatkan oleh undang-undang agar data pribadinya dengan persetujuan masing-masing disiarkan kepada publik akan mengalami masalah yang sama,” ujar Johnny.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019, Kominfo memiliki wewenang sebagai regulator, akselerator dan fasilitator tata kelola data. Hal teknis yang berkaitan dengan keamanan atau teknologi keamanan ditangani oleh Badan Siber dan Sandi Negara.
“Para penyelenggara sistem elektronik sektor privat atau e-commerce harus meningkatkan keamanan teknologi, mempunyai tata kelola dan manajemen yang memadai dalam rangka pengawasan, kontrol dan monitoring sehingga secara dini bisa mengantisipasi potensi kebocoran data di tempatnya masing-masing,” pungkas Johnny.
Isu Platform Intermediary
Isu Platform Intermediary turut mendominasi pemberitaan 24 jam terakhir. Topik yang diangkat adalah seputar pemetaan tanggung jawab Platform Intermediary Indonesia sebagai platform akses informasi dan pengetahuan. Media mengutip pernyataan Plt. Direktur Pengendalian Dirjen APTIKA, bahwa dalam mengatur PSE lingkup privat, terdapat 2 mekanisme yang diterapkan yaitu, mekanisme pendaftaran yang diperlukan selama penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang andal, aman, terpercaya, dan bertanggung jawab; serta mekanisme pengendalian yang diperlukan untuk memastikan PSE lingkup privat agar tunduk terhadap ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Turut dijelaskan bahwa dalam Permenkominfo 5/2020 telah diatur bahwa PSE bertanggung jawab atas seluruh konten di dalamnya. Lalu PSE privat dilarang untuk memuat konten illegal dan menfasilitasi konten illegal. Ilegal berarti melawan hukum, menyebabkan keresahan, memfasilitasi aksi ke konten ilegal.
Media turut mengutip pernyataan Ketua Fakultas Hukum Unpad, Dr. Hj. Sinta Dewi Rosadi, S.H., LL.M, bahwa kewajiban platform perantara memiliki arti sebagai tanggung jawab hukum (kewajiban) atas aktivitas ilegal atau berbahaya yang dilakukan oleh pengguna melalui layanan mereka.
Menurut Dr. Sinta, terdapat dua model dalam penetuan tanggung jawab Intermediary yakni model Safe Harbour dan model Generalist. Pertama, intermediary dibebaskan dari semua tuntutan atas tindakan dari pengisi konten/legally safe place (a safe harbour).
Sementara untuk model Generalis, tanggung jawab platform perantara diatur oleh hukum perdata atau pidana. Model ini banyak diterapkan di negara-negara di mana platform perantara diminta bertanggungjawab atas konten yang dimuat, baik yang secara langsung maupun tidak langsung.
Media juga mengutipi pernyataan OECD, bahwa platform sebagai bisnis yang memfasilitasi antara pihak ke tiga internet, platform perantara juga sebagai akses informasi yang membutuhkan tata kelola yang inklusif. (lry)