Surabaya, Ditjen Aptika – Salah tafsir dalam penerapan UU ITE yang mencederai penegakan hukum dapat menurunkan indeks demokrasi di Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi upaya pemerintah untuk mencegah hal tersebut.
“Presiden punya concern terhadap UU ITE, ketika disalahtafsirkan akan menurunkan indeks demokrasi di indonesia. Pedoman ini sebagai upaya pemerintah supaya UU ITE tidak lagi ditarik-tarik oleh berbagai kepentingan, baik di pusat maupun daerah,” kata Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum, Henri Subiakto saat Webinar Diskusi Publik UU ITE di Surabaya, Kamis (23/9/2021).
Menurut Henri, SKB yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung, dan Menkominfo pada 23 Juni 2021 itu menjadi solusi antara sebelum adanya revisi UU ITE atau aturan lain seperti UU KUHP.
“Melakukan revisi atau pembuatan UU sangatlah tidak mudah, sementara jutaan orang terus berkomunikasi di media sosial. Pemerintah tidak ingin kebebasan berpendapat dibungkam oleh UU ITE, meskipun perlu disadari itu bukan kebebasan absolut,” terang dia lebih lanjut.
Henri yang juga Guru Besar Unair itu menemukan banyak kasus yang normanya tidak sesuai dengan UU ITE. Ia mencontohkan kasus Saiful Mahdi di Banda Aceh terkait dengan penerimaan dosen yang ada di Whatsapp Group.
“Meskipun saya Ketua Panja Revisi UU ITE, Ketua Tim SKB, tapi tidak dipercaya dalam kasus di Unsyiah Aceh ini. Mereka tidak mau tahu, seharusnya tidak dipenjara, jadi dipenjara,” ungkap Henri.
Lihat juga: Henri: Dulu Segregasi Sosial, Sekarang Segregasi Digital
Namun Henri pun sepakat bahwa penerbitan SKB Implementasi UU ITE tidak serta merta mengatasi banyaknya masalah dalam penerapan UU ITE. Termasuk timbulnya penafsiran-penafsiran baru dari SKB itu sendiri.
“Untuk mengatasi sengkarut, dibuatlah pedoman. Tapi setelah ada pedoman, tidak dipatuhi juga, ini salah normanya atau manusianya? Bila kesepakatan pimpinan tidak dipatuhi oleh bawahan, itu namanya indisipliner dan bisa dikenakan sanksi,” tegas Profesor Henri.
Sementara itu Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Imam Prihandono menyatakan ada adagium hukum selalu terlambat dari masyarakat. Perkembangan teknologi yang berlangsung sangat cepat harus direspon secara baik dari segi hukum.
“Salah satu koridor kami adalah mengembangkan hukum dan teknologi di era saat ini, karena tidak mungkin jika hukum tidak bersinggungan dengan teknologi,” kata Imam dalam sambutan pembuka diskusi.
Ia pun mengambil contoh di bidang persaingan usaha, dimana harga tidak ditentukan oleh manusia melainkan melalui kecerdasan mesin. Hal itu menimbulkan potensi pelanggaran hukum.
“Tugas kami sebagai akademisi untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, membantu penegakan hukum dalam kasus-kasus ITE, dan memberikan pandangan mengenai implementasi SKB oleh para penegak hukum,” tutup Imam.
Sedangkan Koordinator Hukum dan Kerjasama Ditjen Aptika, Josua Sitompul menyebut SKB Implementasi UU ITE dimaksudkan agar penegakan hukum konten-konten ilegal baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan dapat dilakukan secara konsisten.
“Melalui diskusi ini diharapkan dapat memperluas ruang dialog dan memperoleh masukan bagi pembuat regulasi, sehingga dapat membuat kebijakan secara obyektif agar kepentingan umum dan masyarakat dapat terlindungi,” jelas Josua.
Lihat juga: Koordinator Hukum Aptika: Perlu Waktu untuk Revisi UU ITE
Selain dilakukan secara luring, acara diskusi publik itu juga disiarkan melalui live streaming Youtube di tautan berikut, https://www.youtube.com/watch?v=dBNnhxIf_H8.
Hadir dalam diskusi yang bertema “Memperkuat Parameter Pelindungan Hak Asasi Manusia dalam Penerapan Pengaturan Konten Ilegal di Undang-Undang ITE” peserta dari kalangan akademisi, pemerintah daerah, dan para penegak hukum di wilayah Surabaya. (mhk)