Jakarta, Ditjen Aptika – Jejak digital yang ditinggalkan setiap orang di internet dapat memicu doxing dan framing. Aktivitas itu dikhawatirkan akan menjadi kejahatan yang merajalela.
“Aplikasi dan akun yang sudah tidak terpakai sebaiknya dihapus agar tidak menjadi jejak digital kita. Aplikasi dan akun tersebut yang menjadi incaran doxing dan framing,” ujar Anggota Komisi I DPR RI, Dede Indra Permana dalam webinar Siberkreasi: Jejak Digital dalam Dunia Daring melalui Zoom, Minggu (23/08/20).
Doxing adalah penyebaran informasi pribadi seorang individu atau organisasi kepada publik dan menimbulkan perspektif (framing) yang salah terhadap pemilik data. “Maka dari itu, setiap orang harus berhati-hati dan bijak berinternet,” kata Dede.
Dede menyebutkan RUU Pelindungan Data Pribadi telah mengatur hak pemilik data untuk menghapus atau memusnahkan data pribadinya. “Kami sedang menggodok salah satu hak tersebut bersama-sama, agar nantinya mampu melindungi setiap pemilik data pribadi,” ungkapnya.
Lihat Juga: UU ITE Menjerat Ujaran Kebencian Berdasarkan SARA
Sementara itu Staf Ahli Menkominfo, Henri Subiakto mengatakan bahwa jejak digital dapat menjadi alat bukti hukum yang sah. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 dan 6 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada kasus hukum seringkali unggahan yang berisi pencemaran nama baik, fitnah atau tuduhan di media sosial dengan alasan tidak sengaja dilakukan. Sedangkan UU ITE menyatakan larangan mencemarkan nama baik, secara sengaja dan tanpa hak.
“Apabila jejak digital tersebut masih bisa diakses, ditampilkan, dan dijamin keutuhannya, maka dapat dijadikan alat bukti yang sah,” jelas Henri.
Henri yang juga Guru Besar FISIP Universitas Airlangga itu memberikan sejumlah tips untuk menghapus dan mengurangi jejak digital, yaitu:
- Hapus dan non aktifkan akun media sosial;
- Gunakan mode samaran saat browsing di internet (incognito mode);
- Hapus e-mail atau membuat e-mail khusus untuk media sosial;
- Berhenti langganan mailing list atau newsletter; dan
- Pikir ulang setiap konten yang disebarkan di internet.
“Masyarakat perlu lebih bijak saat berinternet, tidak mudah terpancing konten negatif, dan dapat mencari referensi lain ketika mendapatkan informasi yang diragukan kebenarannya,” tutup Henri. (pag)