Jakarta, Ditjen Aptika – Data UNICEF pada tahun 2023, erdapat 175.000 anak yang menjadi pengguna baru internet setiap hari atau 1 anak setiap detik. Di Indonesia sendiri, sebanyak 30 juta anak menjadi pengguna internet. Wamenkominfo, Nezar Patria ajak semua pihak untuk melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban dari para pelaku kejahatan di ruang digital.
“Tingginya jumlah pengguna internet usia anak menghadirkan ancaman dan risiko yang besar, seperti paparan konten negatif, perundungan siber (cyberbullying) kepada anak, bahaya kebocoran data anak, hingga child sexual abuse material. Oleh karena itu, kami semua pihak mewaspadai intensi untuk melakukan kejahatan. Maraknya penggunaan teknologi artificial intelligence (AI) juga bisa jadi salah satu cara memfilter dan moderasi konten secara otomatis untuk konten negatif,” ujarnya saat membuka Seri Diskusi Publik Kecerdasan Buatan (AI) dengan tema AI for Child Online Protection di Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023).
Tidak hanya itu, menurutnya teknologi AI juga memiliki peluang untuk membantu menghadirkan pelindungan keamanan dan dan privasi.
“AI juga bisa membantu orang tua memantau screen time, tentu saja supaya anak tidak terlalu larut dalam penggunaan digital dan mengatasi kecanduannya juga,” tuturnya.
Di sisi lain, keberadaan teknologi generative AI seperti deepfake yang memungkinkan manipulasi konten foto atau video dan produksi konten-konten negatif dengan anak sebagai korban. Oleh karena itu, ia mendorong adanya diskusi oleh semua pihak yang berhubungan dengan anak-anak untuk memanfaatkan teknologi AI demi kemajuan anak-anak di Indonesia.
Optimalkan Pelindungan Anak, Indonesia Adopsi Panduan ITU
Indonesia telah mengadopsi panduan pelindungan anak di ranah daring yang dirilis International Telecommunication Union (ITU) sejak tahun 2009 dan telah diperbarui di tahun 2020.
“Panduan ini ditujukan kepada 4 kelompok, yaitu anak-anak, orang tua/wali/atau edukator, industri, dan pembuat kebijakan,” kata Nezar.
Panduan tersebut dapat digunakan untuk menciptakan ruang digital yang aman, partisipatori, inklusif, dan tepat secara usia untuk anak-anak.
“Bahkan ITU dengan National Cybersecurity Authority (NCA) dari Arab Saudi meluncurkan Program Creating a Safe and Prosperous Cyberspace for Children pada tahun 2020 yang memiliki dua pilar, yaitu capacity building, dan policy support,” tuturnya.
Ia juga menunjukkan juga UNESCO’s Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence yang menjadi acuan dalam melindungi anak-anak di ruang digital.
“(Di dalamnya) terdapat bahasan seputar penggunaan AI dan dampaknya bagi anak-anak, serta bagaimana tata kelola AI yang dapat memenuhi hak-hak dasar anak,” tuturnya.
Lihat Juga: Sekjen Kominfo: Penggunaan AI Harus Sesuai dengan Nilai Etika di Indonesia
Menurut Wamen banyak negara di dunia memiliki kekhawatiran yang sama terhadap perkembangan AI. Bahkan, setiap negara mencari cara untuk memitigasi risiko penggunaan AI, terutama bagi anak-anak.
“Mereka lah yang akan menjadi generasi penerus dan mereka sudah akrab dengan AI sejak dini, kita bisa bayangkan 10-15 tahun lagi mereka lah pengguna AI yang sangat aktif,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menekankan arti penting keterlibatan semua pihak dalam merumuskan panduan dan mitigasi terhadap risiko negatif AI terhadap anak.
“(Anak-anak) mungkin lebih jago dari generasi sebelumnya karena mereka sudah berkenalan dengan AI sejak usia dini. Jadi perlu ada panduan-panduan etis, ataupun mitigasi risiko-risiko negatif yang mungkin terjadi pada anak,” ungkapnya. (pag)