Jakarta, Ditjen Aptika – Isu seputar revisi UU ITE masih mendominasi pemberitaan pada 24 jam terakhir. Isu ini setelah Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang meminta implementasi penegakan UU ITE dapat berjalan secara akuntabel, konsisten, dan menjamin rasa keadilan rakyat, serta dapat dilakukan revisi jika aturan dirasa belum memberikan rasa keadilan.
Media juga mengutip penjelasan Jubir Kominfo Dedy Permadi yang mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal pasal UU ITE yang dianggap kontroversial, agar lebih jelas dan dapat menghindari penafsiran yang beragam.
Ia turut menegaskan bahwa semangat dibentuknya UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU dan pasal yang bisa menimbulkan multitafsir untuk diterjemahkan secara hati-hari.
Dedy mengatakan bahwa UU ITE merupakan hasil kajian dari norma-norma peraturan perundang-undangan lain yang berlaku saat ini. Dedy menekankan bahwa UU ITE telah mengalami revisi pada tahun 2016 dengan merujuk pada beberapa putusan MK.
Pemblokiran Situs Negatif
Isu lain yang mendominasi pemberitaan 24 jam terakhir adalah pemblokiran situs negatif. Media mengangkat pernyataan Staf Ahli Menteri Prof. Henri Subiakto bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Kominfo paling banyak memblokir situs-situs yang memuat konten negatif, yakni pornografi dalam beberapa tahun terakhir.
Dirinya pun menjelaskan sebelum tahun 2018, Kementerian Kominfo harus menunggu laporan atau pengaduan konten dari masyarakat untuk melakukan pemblokiran terhadap situs porno. Sehingga Kementerian Kominfo hanya mampu memblokir sekitar 3 ribu situs porno dalam jangka waktu setahun.
Saat ini Kementerian Kominfo menggunakan mesin crawling sehingga mampu memblokir situs porno dalam waktu 1 bulan. Hingga 2020, angka pemblokiran situs porno mencapai 70% dibandingkan pemblokiran konten lainnya
“Pemblokiran terbanyak di Indonesia 70 persennya pornografi, hingga sekarang paling besar itu pornografi, karena memang kita punya mesin crawling,” kata Henri di Banda Aceh, Kamis (18/02/2021).
Jadi pemblokirannya ada yang aktif, Kominfo mencari pakai mesin crawling, ada juga yang pasif menunggu laporan masyarakat, pengaduan konten, termasuk penipuan online. Namun, menurut dia, yang membuat sulit pemblokiran tersebut ketika konten-konten negatif tersebut berada di balik aplikasi lainnya.
“Seperti bersembunyi di twitter, maka kita harus kerjasama dengan twitter. Jadi tidak semudah dibayangkan, karena sesuatu yang dianggap di Indonesia porno, belum tentu porno di negara lain,” pungkasnya. (lry)