Jakarta, Ditjen Aptika – Informasi seputar temuan hoaks terkait Covid-19 dalam sepekan terakhir mendominasi pemberitaan. Isu meningkat usai digelarnya keterangan pers Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) pada Selasa (2/2/2021).
Media mengutip penjelasan Koordinator Pengendalian Internet Ditjen Aptika Kominfo, Anthonius Malau, bahwa selama 23 Januari hingga 1 Februari ditemukan 1402 hoaks terkait COVID-19. Sementara terkait vaksin, ditemukan ada 275 konten hoaks terkait vaksin COVID-19 di media sosial hingga 1 Februari lalu.
“Sebaran terbanyak di Facebook sejumlah 193 hoaks, disusul Twitter dengan 39 konten hoaks, kemudian Youtube dengan 22 hoaks , Tiktok dengan 15 hoaks, dan Instagram dengan 6 hoaks. Kominfo sudah melakukan takedown untuk semua konten ini,” paparnya.
Kemkominfo telah melakukan inisiatif untuk melawan konten-konten hoaks dari hulu hingga ke hilir. Dari hulu, pemerintah memperkuat kapasitas masyarakat melalui program literasi digital Siberkreasi. Sementara di tengah, Kominfo melakukan pendekatan kepada platform media sosial untuk melakukan penurunan (take down) konten hoaks tersebut.
Terakhir, upaya di hilir adalah dengan penegakan hukum. Khusus untuk kasus COVID-19, ada 104 hoaks yang telah dibawa ke ranah hukum. Selain itu juga dilakukan patroli siber dan kerja sama dengan kementerian/lembaga, verifikasi dan klarifikasi melalui laporan isu hoaks harian, serta chatbot antihoaks melalui kanal Telegram.
Ia turut mengimbau peran masyarakat untuk mampu memeriksa dua hal, yaitu apakah sumbernya valid, dan cek keaslian fakta dan foto dari informasi tersebut. Ia juga meminta masyarakat untuk melaporkan hoaks ke kanal yang disediakan melalui nomor WA 08129224545.
RUU PDP Masih Harus Dibahas
Isu mengenai masih perlunya RUU PDP dibahas lebih lanjut mengemuka setelah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Tifa membandingkan RUU PDP dengan regulasi perlindungan data pribadi di Eropa, seperti Peraturan Pelindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR) dan Konvensi Eropa 108+. Dua regulasi Eropa yang banyak dijadikan patokan oleh dunia terkait perlindungan data privasi.
Studi Yayasan Tifa menemukan bahwa RUU PDP masih memiliki banyak kekurangan yang perlu dibahas, seperti masalah definisi dan dasar hukum. Dalam RUU PDP, Kementerian Kominfo, memegang otoritas perlindungan data pribadi atau data protection authority (DPA) di Indonesia. Namun, RUU tersebut tidak menyebutkan secara jelas tugas dan tanggung jawab Kominfo dalam perannya sebagai otoritas pelindungan data pribadi.
Di Eropa, GDPR memastikan otoritas perlindungan data pribadi independen dan memiliki cakupan tanggung jawab yang jelas untuk memastikan badan tersebut bisa menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak kepentingan seperti pemerintah dan perusahaan.
Sherly Haristya, salah satu peneliti Yayasan Tifa mempertanyakan indepedensi Kominfo sebagai pengadil pelindungan data pribadi kalau tidak ada detail yang mengatur. “Sejauh mana Kominfo berhak mengintervensi jika terjadi pelanggaran perlindungan data pribadi? Seberapa jauh Kominfo bisa mengawal agar pengelola data bisa bertanggung jawab?” sebut Sherly.
Masalah utama berikutnya ialah pembagian ruang lingkup hukum di antara perorangan dan lembaga. Hal ini berpotensi mengakibatkan penetapan kewajiban perlindungan data pribadi yang tidak sesuai dengan kapasitas pihak yang berbeda-beda.
GDPR menjelaskan bahwa prinsip atau dasar proses data pribadi itu harus adil, sah, dan transparan. Pihak pengendali data dan entitas yang mengumpulkan data hanya bisa mengumpulkan data jika memiliki dasar hukum yang kuat. (lry)