Jakarta, Ditjen Aptika – Orang tua memiliki peranan penting dalam menjaga keamanan data dan kesehatan mental anak-anaknya ketika berselancar di internet. Pengawasan harus betul-betul dilakukan oleh orang tua.
“Bisa dibayangkan misalnya dengan karakter anak-anak yang belum matang fisik dan mental, dia bisa memacu kendaraannya sedemikian rupa, kejar-kejaran, dan lain-lain. Ini juga bisa terjadi di dunia maya,” tutur Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M. Ramli saat menjadi pembicara Seminar Daring yang bertajuk “Menjaga Keamanan Pribadi Anak dalam Berinternet”, dari Jakarta, Minggu (06/09/2020).
Menurut Dirjen Ramli, dalam pendidikan di era digital seperti sekarang ini, orang tua perlu mengajarkan anak-anaknya untuk lebih cermat saat berada di ranah daring. Mampu menilai mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah sehingga tidak mudah terpengaruh dan bisa menggunakan perangkat digital dengan baik.
“Berdasarkan data dari Rhonda Bradley, 79% anak-anak di bawah umur bisa mengakses konten pornografi di jagat maya. Nah, ini yang menurut saya cukup bahaya. Jadi, anak harus diajari untuk bisa memilah informasi yang cocok sesuai tahap perkembangannya,” paparnya.
Menurut statistik dari portal https://security.titanprojects.co/, tercatat 69% remaja turut berkomunikasi dengan orang-orang baru yang tidak kenal dan 38% anak-anak dengan rata-rata usia di bawah 13 tahun sudah bisa masuk di media sosial. Padahal ada banyak konten-konten yang belum layak dilihat.
“Oleh karena itu, sebagai orang tua tentu perlu memonitor dan mengawasinya dengan baik,” jelasnya.
Terkait melindungi data pribadi anak di media sosial, Dirjen Ramli menyontohkan orangtua harus bisa mengajarkan anaknya cara membuat password secara kreatif. Kemudian, menanamkan pemahaman pada diri anak untuk tidak lupa melakukan log out ketika selesai mengakses akun pribadinya di tempat umum.
Anak juga perlu mampu memahami prasyarat-prasyarat terkait privasi dan keamanan sebuah aplikasi. “Kalau anak punya Facebook, ketika log in dia juga harus menjaga betul mana yang boleh dilihat orang dan mana yang tidak. Jadi, kita juga harus mengajari anak-anak untuk berpikir sebelum mem-posting sesuatu,” tuturnya.
Dirjen Ramli juga menyampaikan bahwa kasus cyber bullying, sexual image, sexual messages, dan sejenisnya menjadi bagian yang paling banyak di antara soal-soal lain terkait dengan anak-anak di internet.
Misalnya bila anak terkena bullying, dia memiliki kekhawatiran yang jauh lebih tinggi karena emosional anak kurang baik dan mentalnya belum matang.
“Oleh karena itu, sebagai orangtua perlu memberi pemahaman kepada anak untuk segera menyampaikan ke orang-orang terdekatnya apabila mengalaminya. Sehingga, bisa dilakukan tindakan-tindakan lanjutan. Jangan sampai dia disuruh menyelesaikan sendiri, karena tidak akan sanggup,” urainya.
Dirjen Ramli turut memberi apresiasi terhadap upaya Komisi I DPR RI memasukkan pelindungan data anak ke undang-undang data pribadi. Meskipun sudah ada PP Nomor 71 tahun 2019, tapi dinilai belum cukup.
“Sedikit pasal saja tetapi itu menjadi umbrella. Misalnya, mengkategorikan bahwa semua data anak itu hanya boleh dilakukan oleh atas izin orang tua dan selanjutnya untuk implementasinya bisa dengan peraturan pemerintah sebetulnya. Namun, umbrella di undang-undang PDP menjadi penting,” pungkasnya.
Webinar yang diselenggarakan oleh Siberkreasi tersebut turut dihadiri sejumlah pembicara, antara lain Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, Praktisi Seni Gisella Anastasia, CEO dan Co Founder Platform Edukasi Fammi.ly Muhamad Nur Awaludin. (hm.ys)