Jakarta, Ditjen Aptika – Maraknya hoaks saat pandemi Covid-19 salah satunya akibat pemisahan atau segregasi digital. Algoritma komputer menghitung berdasarkan kesamaan, kesukaan, komunikasi dan perilaku digital.
“Dulu masyarakat terpisah secara sosial di kehidupan nyata. Misalnya ada Kampung Jawa, Kampung Sunda, dan Kampung Pecinan. Namun sekarang tersegregasi secara digital yang diciptakan oleh algoritma (komputer),” ujar Staf Ahli Menkominfo, Henri Subiakto saat Webinar Disinfodemic: Fact Checking! Social Media Analytic in Pandemic Issues melalui aplikasi Zoom, Rabu (16/9/2020).
Persoalan itu menjadi serius akibat mereka hanya mendengar dari sumber yang berpikiran sama. Komunikasi hanya terjadi dari orang-orang yang sepemikiran.
“Di media sosial, pendukung teori konspirasi akan didekatkan dengan para pendukung teori konspirasi. Begitu pula mereka yang tidak suka pemerintah, akan didekatkan dengan orang-orang yang tidak suka dengan pemerintah,” lanjut Henri.
Pemikiran yang sama dan berulang-ulang akan makin memperkuat keyakinan. Hoaks pun dianggap kebenaran karena sesuai dengan suara yang bergema (echo chambers).
Lihat juga: Tujuh Upaya Atasi Hoaks saat Pandemi Covid-19
“Terjadi ‘the death of expertise‘, ketika orang-orang hanya percaya pada berita yang mereka sukai. Banyak yang kritis bukan pada fakta, tapi sekedar mempertahankan keyakinan,” jelas Henri.
Terhadap lembaga akademis, Henri menyarankan agar tetap skeptis dan menguji setiap informasi yang diterima. Kampus harus tampil menyuarakan kebenaran hakiki agar publik memiliki acuan yang dapat dipercaya.
Kementerian Kominfo sendiri menggandeng banyak pihak dalam menghadapi hoaks, seperti LSM, relawan, dan media. Terdapat fasilitas fact checking untuk mengetahui suatu informasi hoaks atau bukan.
“Kita bisa tanya ke teman-teman Mafindo melalui nomor WhatsApp 0855-7467-6701. Bisa pula berkomunikasi ke Kominfo lewat Twitter @kemenkominfo,” kata Henri.
Tercatat dari Januari hingga September 2020 ada 1.101 temuan kasus hoaks. Dari kasus-kasus tersebut, sudah terjaring 104 tersangka di 28 wilayah Polda. Sebanyak 17 tersangka dilakukan penahanan, dan 87 lainnya tidak ditahan.
“Hoaks ini sudah menjadi aktivitas masyarakat di media sosial. Maka kita jangan terlalu percaya media sosial, karena realitasnya sering kali tidak sesuai dengan dunia nyata,” ungkap Henri.
Lihat juga: Tiga Strategi Kominfo dalam Tangani Hoaks dan Misinformasi
Sementara itu dalam menghadapi virus korona, Henri yang juga Guru Besar FISIP Universitas Airlangga pun menyampaikan sejumlah kunci sukses, yaitu:
- Masyarakat tahu bahaya Covid-19 dan cara menghindarinya;
- Masyarakat benar-benar patuh terhadap protokol kesehatan; dan
- Masyarakat tidak percaya hoaks dan teori konspirasi.
“Di bidang kesehatan dokter lebih tahu. Dokter memiliki kode etik dan sanksinya bisa dilarang praktek seumur hidup. Kita perlu lebih percaya kepada mereka yang memiliki kompetensi dan otoritas,” pungkas Henri. (mhk)