Jakarta, Ditjen Aptika – Pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) telah masuk tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Komisi I DPR RI meminta masukan atas naskah RUU PDP yang dikirim pemerintah.
“Hingga saat ini Komisi I DPR RI telah melakukan tiga kali RDPU dengan stakeholder akademisi dan asosiasi. RDPU tersebut dilakukan pada tanggal 1, 6, dan 9 juli 2020,” ungkap Kasi Perencanaan Tata Kelola Perlindungan Data Pribadi, Tuaman Manurung dalam Webinar Sinkronisasi RUU Data Pribadi di Berbagai Sektor, Kamis (30/07/2020).
Tuaman menyampaikan, perwakilan akademisi yang hadir dalam RDPU itu antara lain Edmon Makarim, Nonot Harsono, Sinta Dewi Rosadi, Sih Yuliana Wahyuningtyas. Sedangkan dari asosiasi hadir APJII, ATSI, PERSI, idEA, AFTECH, USABC, serta Koalisi Advokasi PDP.
“Rencana berikutnya menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi dan undangan dari Komisi I DPR untuk lanjutan pembahasan RUU PDP di DPR RI,” ucap Tuaman.
Lihat juga: Menkominfo akan Kembali Bahas RUU PDP bersama DPR
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi menyampaikan komitmen Komisi I mengawal RUU PDP agar nantinya UU PDP dapat menjadi payung hukum yang komprehensif dalam melindungi data pribadi.
“Komisi I telah sepakat dengan Kementerian Kominfo untuk memasukan RUU PDP dalam Prolegnas 2020. Mengingat diperlukannya RUU tersebut guna mengatur strategi mengenai kejahatan penyalahgunaan data pribadi,” tandas Bobby.
Secara subtantif, Komisi I menekankan pentingnya peran strategis pengendali data, baik data controller ataupun data processor. Komisi I berharap keduanya dapat melaksanakan kewajibannya dalam memperoleh persetujuan pemilik data, memberikan akses kepada pemilik data, penghentian pemrosesan data pribadi, serta memperbaharui dan memperbaiki ketidakakuratan data pribadi.
Lihat juga: Empat Pihak yang Harus Melindungi Data Pribadi di Ruang Digital
Sedangkan untuk hal-hal yang belum terjawab seperti lembaga pengawas independen, Bobby mengatakan akan dilakukan pembahasan kembali untuk diputuskan kemudian.
Menanggapi persoalan lembaga pengawas independen tersebut, Ketua Cyberlaw Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Sinta Dewi Rosadi memberikan gambaran ada tiga kemungkinan yang bisa dipilih.
“Pilihan pertama berupa otoritas baru yang bersifat independen. Pilihan kedua dapat bergabung dengan otoritas yang sudah ada. Serta pilihan ketiga otoritas di bawah eksekutif,” jelas Sinta.
Dari ketiga pilihan tersebut Sinta menyarankan agar lembaga pengawas independen tidak berada di bawah eksekutif. Hal itu mengingat lembaga tersebut akan mengawasi baik itu pemerintah maupun publik. (lry)