Jakarta, Ditjen Aptika – Pemanfaatan data pribadi memerlukan tata kelola yang baik di era ekonomi digital. Sebab itu, RUU Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) mendesak untuk dapat disahkan menjadi undang-undang.
“Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan kita di era digital membutuhkan data pribadi. Pemanfaatan data pribadi tersebut memerlukan tata kelola yang baik dalam pemrosesannya, oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang kuat dan komprehensif untuk memastikan pelindungan terhadap data pribadi,” jelas Menteri Johnny G. Plate saat Rapat Kerja Tingkat 1 dengan Komisi I DPR RI, di Jakarta (25/02/2020).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019 jumlah pengguna internet mencapai 47,69% dari penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun atau sekitar 115 juta jiwa. Sedangkan menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) penetrasi pengguna internet diperkirakan mencapai 64,8% dari penduduk Indonesia atau sekitar 171,17 juta jiwa.
Menteri Johnny melanjutkan, “Dalam beberapa tahun terakhir, baik di dalam maupun di luar negeri telah terjadi banyak kasus kebocoran data pribadi yang memberikan dampak kerugian yang signifikan bagi masyarakat secara khusus pemilik data. Hal ini terjadi karena minimnya kesadaran pemilik data pribadi yang dieksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, RUU Pelindungan Data Pribadi hadir menjadi instrumen hukum yang disusun untuk melindungi data pribadi warga negara dari praktik penyalahgunaan data pribadi.”
Menteri Johnny juga menyebutkan bahwa alasan lain dibutuhkan segera pengesahan RUU PDP ialah fakta bahwa aturan mengenai pelindungan data pribadi di Indonesia saat ini diatur secara sektoral dan parsial yang tersebar pada 31 peraturan perundang-undangan, seperti pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang-Undang Telekomunikasi.
“Peraturan perundang-undangan tersebut belum mengatur secara komprehensif mengenai pelindungan data pribadi. Undang-Undang yang komprehensif diperlukan sebagai landasan hukum dalam memberikan pelindungan, pengaturan dan pengenaan sanksi atas penyalahgunaan data pribadi sebagaimana diatur dalam undang-undang yang akan kita hasilkan ini,” sebutnya.
Makna Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis PDP
Menteri Johnny kemudian menjelaskan bahwa Pelindungan Data Pribadi memiliki makna dan latar belakang filosofis, sosiologis, dan yuridis. “Secara filosofis, pelindungan data pribadi merupakan manifestasi pengakuan dan pelindungan atas hak-hak dasar manusia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya.
“Sedangkan secara sosiologis, RUU Pelindungan Data Pribadi disusun sebagai jawaban atas kebutuhan untuk melindungi hak individual terkait data pribadi khususnya di era digital,” lanjutnya.
Sementara secara yuridis, Menteri Johnny mengutip sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28 G ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”
Pasal 28 H ayat (4)
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Tanggapan Komisi I DPR RI
Seusai penjelasan yang dibacakan oleh Menkominfo mengenai RUU PDP, Anggota DPR Komisi I, Yan Permenas, menyoroti dalam RUU PDP ini harus ada people security yang seimbang agar negara tidak mengakses data pribadi rakyatnya tanpa pengawasan.
“Keseimbangan itu perlu, warga negara berhak mendapat perlindungan datanya, akan tetapi pemerintah juga perlu batasan agar tidak mengakses data warga negara atau mengintervensi tanpa ada yang mengawasi,” tegas Yan.
Mengenai isu dibentuknya lembaga independen atau pengawas sebagai badan yang mengawasi penggunaaan data pribadi oleh pemerintah. Menurutnya, kemungkinan bisa terjadi sesuai proses pembahasan lebih lanjut karena draft RUU PDP sedang diteliti oleh Komisi I.
“Nanti kita lihat proses perjalanannya dalam pengelolaan data RUU ini. Kalau memang dianggap perlu maka bisa dibentuk lembaga independen untuk mengawasi dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang,” kata Yan.
Lebih lanjut, ia menerangkan dengan adanya lembaga pengawasan, sehingga selain kewenangan ini dikelola oleh negara untuk pengelolaan data dan perlindungan data pribadi, tapi masyarakat juga punya hak untuk mengawasi sesuai undang-undang lewat lembaga tersebut.
Sedangkan Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika, Mariam F Barata mengatakan, “Penyusunan RUU PDP yang melibatkan berbagai lembaga dan kementerian akhirnya sampai pada awal pembahasan antara Pemerintah dan Komisi 1 DPR. Untuk mempercepat proses pembahasan, pemerintah bersama DPR akan menyusun strategi pendalaman materi secara menyeluruh dengan intens agar RUU ini menjadi siap diundangkan dalam tahun ini juga.”
Dalam Rapat Kerja yang merupakan tindak lanjut dari Surat Presiden Nomor R-05/Pres/01/2020 tersebut, pemerintah diwakili oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Kominfo, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Selain Menteri Johnny, Rapat Kerja tersebut juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kominfo Rosarita Niken Widiastuti, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel A Pangeran, Direktur Jenderal PPI Kominfo, Ahmad Ramli, serta Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh. (lry)