Jakarta, Ditjen Aptika – Masyarakat merupakan bagian penting dari smart city. Namun sayangnya, secara keseluruhan belum banyak publik terlibat aktif di dalamnya.
“Saat ini yang dihadapi bukan hanya soal proses dan teknologinya, tetapi bagaimana membangun people. Bukan hanya membuat masyarakat cerdas, tapi juga membangun hati nuraninya,” demikian kata Bambang Dwi Anggono, Direktur Layanan Aplikasi Informatika (LAIP) saat acara Dialog Spesial: Menuju Era Kota Cerdas, yang disiarkan melalui saluran Metro TV (11/7).
Ibenk panggilan akrab Bambang mencontohkan, di suatu kota dengan inisiatif memberikan mobil ambulans di setiap Rukun Warga (RW). “Apakah ambulans itu solusi, tetapi apakah harus semahal itu, kenapa tidak kita dekati dari hati nurani masyarakat dengan membangun kepedulian masyakarat terhadap tetangganya,” katanya.
Dalam dialog selama satu jam tersebut Ibenk didampingi tiga narasumber lain, yaitu Danny Pomanto (mantan walikota Makassar periode 2014- 2019), Airin Rachmi Diani (Walikota Tangerang Selatan), dan Prof. Suhono Harso Supangkat (Ketua Steering Committe Rating Kota Cerdas Indonesia 2019).
Danny Pomanto menyampaikan bahwa masyarakat itu pikirannya simpel, makanya jangan dikasih ribet. “Masyarakat itu tidak mengerti bagaimana sistem bekerja tetapi bagaimana kebutuhannya segera dijawab dengan cepat. Caranya kami gunakan 112, yang tadinya cuma satu fungsi kami jadikan multifungsi,” ujarnya.
Membangun sistem sampai ke bawah, seperti Rukun Tetangga (RT) sebagai ujung pemerintahan, telah berhasil mengungkap adanya anak-anak yang disekap dalam kandang anjing. Melalui laporan yang diterima di Command Center kemudian polisi dan pemadam kebakaran bertindak untuk menanganinya. “Social sense meningkat, seluruh masyarakat menjadi suatu sistem,” kata Danny.
Lain halnya dengan Kota Tangerang Selatan. Tantangan yang dihadapi Walikota Airin adalah ke dalam (kalangan birokrasi) dan keluar (masyarakat). Dicontohkan aplikasi siaran Tangsel yang sudah dua tahun diluncurkan sebagai sarana penyampaian masalah, persoalan atau kebutuhan masyarakat.
“Kuncinya adalah bagaimana meyakinkan kepada perangkat daerah terkait untuk segera merespon dan menindaklanjutinya. Di satu sisi masih terus dilakukan sosialisasi sehingga masyarakat mau menggunakannya,” kata Airin. Smart city bukan hanya melulu teknologi, tapi juga kolaborasi dengan masyarakat secara aman dan berkelanjutan.
Sedangkan Prof. Suhono membagi smart city menjadi tiga komponen, yaitu proses, people (warga) dan teknologi. “Teknologi tidak sesulit people, karena terdiri dari pengguna, birokrasi dan komunitas, di situlah perlu dirancang secara tepat,” kata Suhono.
Mendigitalkan suatu proses bukan hanya sekedar mendigitalkan tetapi ada re-engineering karena ada proses menjadi lebih baik, sehingga perlu ada gerakan bersama karena menyangkut regulator, birokrat dan pengembang. “Masyarakat pun harus tahu ketika terjadi perubahan proses apa harus dilakukan. Lalu bagimana fungsi instansi terkait, sehingga masyarakat menjadi mudah dan nyaman. Itulah yang disebut Smart City 3.0,” ujar Suhono.
Sebagai penutup, Zilvia Iskandar selaku pembawa menyampaikan bahwa jangan sampai teknologi membuat ketidakpedulian semakin besar. Justru harus semakin peduli satu sama lain, itulah yang nanti akan mewujudkan smart city. (nvz)