Jakarta, Ditjen Aptika – Serangan terorisme mulai marak di ruang-ruang siber. Penggunaan internet untuk tujuan teror tersebut dapat dipahami melalui teori 9P.
“Saat ini penggunaan internet sangat disukai oleh para teroris karena dapat berdampak luas dan cepat. Kapolda Bali, Petrus R Golose memperkenalkan Teori 9P guna menjelaskan penggunaan internet untuk keperluan terorisme. Teorinya tersebut dituliskan dalam buku Invasi Terorisme ke Cyberspace,” ucap Satgas Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, AKBP Dr (C) Didik Novi Rahmanto, saat Rapat Koordinasi Pengumpulan Data dan Informasi terkait Terorisme di Kalangan Penyedia Jasa Layanan Masyarakat Berbasis Teknologi, di Hotel Westin, Jakarta, Selasa (08/05/2019).
Kemudian Didik menjelaskan Teori 9P tersebut, sebagai berikut:
- Propaganda, yaitu upaya sekelompok orang untuk mempengaruhi orang-orang yang belum memiliki pemahaman radikal. Propaganda tersebut banyak disebarkan melalui platform media sosial seperti Facebook, Telegram, dan Instagram.
- Perekrutan, yaitu aktivitas kelompok teror untuk menarik pengikut atau anggota baru yang dilakukan secara cyberspace, baik dari dalam maupun luar negeri. Proses perekrutan ini banyak dijumpai pada Telegram.
- Pendanaan, yaitu proses penggalangan dana dengan melalui media sosial untuk kepentingan kelompok teror. Misalnya melalui modus sodaqoh dan infaq yang meliputi menyediakan, menggunakan, meminjamkan, dan menerima. Kasus ini banyak ditemui pada Telegram.
- Penyediaan Logistik, yaitu aktivitas teroris dalam pembekalan yang dilakukan baik secara konvensional maupun memanfaatkan ruang siber untuk memenuhi perlengkapan aktivitas teroris seperti senjata api dan bahan peledak.
- Pembentukan Paramiliter Secara Melawan Hukum, yaitu kegiatan mengajak, mengumpulkan beberapa orang, memobilisasi, melengkapi, mempersenjatai, dan mendanai sehingga sekumpulan orang tersebut dapat memiliki keterampilan militer dan mempunyai kemampuan untuk melakukan serangan teroris.
- Perencanaan, yaitu serangkaian aktivitas terorisme untuk menentukan tujuan, strategi, program kerja, taktik, dan operasi dari organisasi kelompok teroris, dilakukan secara konvensional atau memanfaatkan cyberspace sehingga serangan terlaksana dengan baik.
- Pelaksanaan Serangan Teroris, yaitu menyebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan baik oleh kelompok maupun individu, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik atau psikologis dalam waktu berkepanjangan. Serangan ini kemudian disebarluaskan melalui media seperti Facebook dan Youtube dalam bentuk video dimana akan menimbulkan keresahan masyarakat.
- Pelatihan, yaitu aktivitas terorisme baik secara konvensional maupun cyberspace yang disiapkan dalam rangka memberdayakan simpatisan atau anggota kelompok teroris sehingga mempunyai pengetahuan maupun keterampilan untuk melakukan serangan teroris.
- Persembunyian, yaitu upaya menghilangkan jejak, mempersulit identifikasi, atau menghindar dari upaya penangkapan, penahanan, dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Cara yang dilakukan biasanya dengan membuat berbagai akun media sosial palsu untuk mengecoh polisi.
“Beberapa waktu lalu ditemukan transaksi pembelian bahan peledak melalui e-commerce, hal ini menandakan begitu masifnya penyebaran terorisme melalui cyberspace yang menyulitkan kepolisian. Saya berharap kerjasama dari berbagai stakeholder dan semua elemen masyarakat dapat berperan aktif membantu menanggulangi terorisme,” tutup Didik.
Turut hadir dalam acara tersebut Kasubdit Pengendalian Konten Internet, Ditjen Aptika Kominfo, Anthonius Malau, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Irjen. Pol. Budiono Sandi, serta beberapa mitra seperti APJII, Mafindo, Google, Facebook, dan Gojek. (lry)
Galery Foto Acara Rakor Pengumpulan Data dan Informasi terkait Terorisme di Kalangan Penyedia Jasa Layanan Masyarakat Berbasis Teknologi