Jakarta, Ditjen Aptika – Acara Tok-Tok Kominfo Episode 13 membahas sejarah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Nomor 11 Tahun 2008. UU ITE pertama kali diundangkan pada tanggal 21 April 2008.
“Dalam perumusan UU ITE Ditjen Aptika menganalisis mana teori paling sesuai yang akan dipilih menjadi landasan, teori instrumental (technologi is technologi, teknologi itu netral, guns don’t kill people, people kill people), teori subtantif (tekhnologi itu tidak netral, sekali kita membuat teknologi maka dia akan berdiri sendiri, kita menciptakan smartphone, tapi kemudian kita didikte oleh smartphone), atau yang ketiga teori sintesa/hibrid. Akhirnya dipilihlah teori sintesa/hibrid yang merupakan gabungan atau kombinasi antara teori instrumental dan teori subtantif,” ungkap Plt. Kepala Biro Humas Ferdinandus Setu di Gedung Kominfo, Jakarta, Rabu (06/02/2019).
Pria yang akrab disapa Nando itu kemudian bercerita bahwa penyusunan UU ITE adalah gabungan dari dua RUU, RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia. Pada tahun 2003 kedua RUU tersebut digabung menjadi satu naskah RUU untuk dibahas di DPR.
Pada tahun 2005 Departemen Kominfo berdiri dan dibentuk Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 50 orang. Pembahasan RUU dilakukan dalam rentang tahun 2005 – 2007 hingga tanggal 21 April 2008 resmi dijadikan undang-undang.
Bagian pertama dari UU ITE terkait e-commerce mengatur tentang market place, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma private dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari).
“Dengan adanya UU ITE ini untuk pertama kalinya hal mengenai informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah yang tertuang pada Pasal 5 dan Pasal 44,” ujar Nando.
Bagian kedua terkait dengan tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik yang tertuang pada Pasal 27, 28, dan 29.
Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking di Pasal 30, sub bagian tiga mengenai illegal interception di Pasal 31 seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang pada Pasal 32, 33, 34, dan 35.
UU ITE telah mengalami satu kali revisi pada Agustus 2016 di era Menteri Kominfo Rudiantara. Dari 54 pasal ada 7 ketentuan yang direvisi, diantaranya penegasan soal delik pencemaran nama baik adalah delik aduan, dimana pada ketentuan sebelumnya merupakan delik umum.
Perlukah UU ITE direvisi kembali? “Kembali ke publik, ada tiga hal penting dalam membahas masalah undang-undang, apakah subtansinya sudah memadai, bagaimana struktur hukumnya, bagaimana budaya hukum, jika memang dirasa perlu direvisi mengapa tidak,” jawab Nando.
Perlu kita ketahui bersama proses revisi UU cukup memakan waktu yang lama, dimulai dengan pembahasan antar kementerian dan rapat harmonisasi di Kemenkumham. Selanjutnya naskah dikirim ke Presiden melalui Setneg, dibahas bersama DPR hingga rapat paripurna, ketuk palu, dan ditandatangani presiden menjadi UU.
Di penghujung acara Nando berpesan kepada masyarakat Indonesia. “Jangan takut untuk berinovasi, berkreasi, bahkan memberikan kritik di ranah siber, namun tetap harus berpedoman pada rambu-rambu yang ada di UU ITE,” tutupnya. (lry)